Pada malam-malam tertentu di sekitar kompleks rumah kost-ku ada beberapa tukang pijat keliling yang suka lewat. Kedatangan mereka ditandai dengan suara-suara yang berasal dari kaleng-yang entah diisi apa-hingga mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas. Beberapa kali aku pernah mencoba memakai jasa mereka kalau kebetulan badanku lagi pegal-pegal dan ingin dipijat. Sebenarnya pijatan mereka tidak terlalu enak dan kelihatan 'amatiran' dibandingkan tunanetra yang memang terlatih untuk memijat. Makanya tak jarang aku memakai jasa tukang pijat keliling itu untuk tujuan iseng saja: ketika libidoku lagi tinggi. Sayangnya niatku yang satu ini belum pernah kesampaian secara tuntas. Kadang-kadang orang yang kupanggil ternyata kurang menarik seleraku. Tapi begitu ketemu yang rada cocok, ternyata tidak mau menanggapi permintaanku, meski aku cuma sekedar minta 'dipegang-pegang' saja. Kalau sudah begitu biasanya aku tidak akan memakai jasa mereka lagi.
Sampai pada suatu malam, ketika aku sedang asyik nonton TV, tiba-tiba terdengar suara khas itu. Semula aku agak ragu, jangan-jangan yang lewat orang yang itu-itu lagi. Aku lalu keluar rumah dan berdiri di depan teras menunggu si tukang pijat lewat. Ternyata ia bersepeda dan tampaknya belum pernah kupakai jasanya. Setelah yakin, aku memanggil dan memintanya untuk menyusul ke kamarku.
Seperti biasa, aku mencopot seluruh pakaianku. Dan ketika tinggal celana dalam yang akan kulepas, orang itu mengetuk kamarku dan segera kupersilakan ia untuk masuk.
"Saya copot semua ya Mas," kataku sambil melepas celana dalamku.
Orang itu cuma tersenyum dan mulai menyiapkan perlengkapan pijatnya. Aku segera berbaring telungkup di atas kasur.
"Belum pernah lewat sini ya?" tanyaku membuka obrolan.
Kali ini ia sudah duduk di samping kanan dan mulai memijat telapak kakiku.
"Pernah. Tapi baru sekali ini mijat di sini," sahutnya datar.
Mungkin waktu ia lewat aku sedang tidak di tempat atau sedang tidak perlu jasa pemijatan.
"Nggak 'pa-pa kan saya telanjang begini?" pancingku.
"Nggak 'pa-pa," sahutnya ringan. Logat Jawanya cukup kental. Ia mulai memijat bagian betis dan kakiku.
"Orang lain ada yang dipijat sambil telanjang begini nggak?" tanyaku lagi.
"Ada juga. Tapi kadang ditutupi sarung atau handuk."
"Sampean banyak langganannya?" tanyaku lagi.
"Belum. Saya belum ada satu bulan jalan."
Pantas. Tapi pijatannya lumayan enak. Katanya ia memang punya pengalaman memijat di kampungnya. Sayangnya di sana jasa pemijatan kurang laku. Makanya ia mencoba mengadu nasib ke Jakarta.
Terus terang dari awal aku tertarik sama orang ini. Wajahnya cukup menarik. Berkumis. Rambutnya ikal agak cepak. Tingginya sedang saja, tapi badannya lumayan kekar dan kulitnya agak gelap. Rupanya ia dari Jawa Timur (masih ada turunan Madura, katanya), sudah beristri dan belum punya anak. Kutaksir umurnya belum ada 30-an.
"Saya sudah tiga puluh tiga tahun kok," ia meralat tebakanku.
"Masa sih? Berarti sampean awet muda dong," sahutku mulai menjurus. Ia cuma ketawa ringan.
Pijatannya sudah mulai menyentuh belakang pahaku. Aku sengaja menggelinjang beberapa kali. Aku yakin ia bisa melihat biji pelirku dari celah belakang pahaku. Aku memang sengaja memposisikan telungkupku sedemikian rupa sehingga bijiku terjepit ke arah belakang. Maksudnya memang untuk memberi 'pemandangan provokasi' padanya. Kontolku sendiri sudah ngaceng dari tadi. Terus terang malam ini tadinya aku berniat mau ngocok. Karena sudah hampir seminggu ini aku tidak 'muncrat. Biasanya aku melakukan onani minimal tiga kali dalam seminggu. Cukup sering memang. Tapi kalau lagi 'tinggi' begini mau gimana lagi? Gairah seksualku selama ini memang lebih banyak kusalurkan lewat onani. Sudah lama aku tak ketemu laki-laki yang cocok untuk diajak nge-sex.
Aku kembali mulai menggelinjang, ketika pijatannya sudah mulai merambah bagian pantatku. Aku paling senang kalau dipijat di bagian ini. 'Si Otong' jadi semakin kencang saja. Ingin rasanya aku segera berbalik dan meminta dia melocoku. Tapi terus terang aku agak ragu. Aku takut kalau ia seperti tukang pijat yang lain, tak mau diajak 'main-main'.
"Geli Mas.." aku agak 'mengaduh' sambil nyengir dan mengangkat pinggul ketika ia menekan pantatku agak keras.
Tapi ia tak bereaksi dengan komentarku, hanya agak mengendurkan pijatannya.
"Saya kalau dipijat pantatnya, suka tegang sendiri.." aku mulai berkomentar lagi, sambil kuselusupkan tanganku ke bawah membetulkan posisi 'rudal'-ku.
"Sekarang lagi tegang ya?" tanyanya setengah bercanda. Pancinganku mulai masuk.
"Iya nih. Dari tadi!" balasku sambil menengok ke arahnya, "Sudah seminggu ini nggak dikeluarin sih," aku mencoba becanda sambil melihat reaksinya. Ia cuma tersenyum sambil terus mengurut. Kali ini gantian pinggulku yang jadi sasaran pijatannya.
Aku lalu agak menggeser tubuhku untuk meraih remote control dan menyetel musik. Aku tak ingin pembicaraanku yang sudah mulai mengarah ini terdengar sampai keluar kamar. Ketika tubuhku beringsut, aku sengaja memperlihatkan sebagian batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat itu. Aku yakin ia pasti sempat melihat bagian tubuhku itu. Kulihat matanya tadi sempat melirik.
"Sampean sih enak, punya isteri," aku kemudian meneruskan obrolan setelah kembali telungkup.
"Isteri saya di kampung kok Mas," sahutnya.
"Lha?" aku kaget tapi cukup senang juga karena punya celah untuk ngomong lebih 'jauh'.
"Tapi sampean kalau lagi pingin 'kan bisa pulang. Lha kalau saya?" lanjutku.
"Pulang? Emang nggak pake ongkos?" balasnya sambil ketawa.
"Terus kalau lagi kepingin gimana?"
"He he he.. Mas ini kok suka mancing-mancing sih?". Sialan! Ia tahu arah pembicaraanku. Tapi aku ketawa juga mendengar kalimatnya.
"Saya sih, terus terang kalau lagi pingin, ya ngocok saja..," aku mulai berterus terang.
"Tapi kok seminggu ini belum dikeluarin?" tanyanya cukup 'kritis' juga. Nadanya rada becanda, membuatku mulai tumbuh harapan.
"Maunya sih dikeluarin. Tapi masa di depan sampean?" balasku sambil ketawa. Ia diam tak menanggapi kalimatku, tapi sempat kudengar ia menarik nafas. Entah apa artinya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku untuk berbalik telentang karena bagian belakang sudah selesai dipijat. Nah, ini dia!
"Nih lihat!" kataku begitu berbalik telentang menghadap ke arahnya, sambil kutunjukkan batang kontolku yang masih membesar tegang ke arahnya. Ia tersenyum geli melihat ulahku. Tapi matanya agak takjub demi melihat batang kemaluanku yang meradang itu. Mungkin ia belum pernah melihat kemaluan laki-laki lain. Atau mungkin ini pengalaman aneh baginya. Atau ia memang suka dengan pemandangan yang kuberikan. Entahlah, aku tak peduli. Aku hanya ingin memprovokasi dia. Maka, dalam posisi telentang itu, aku mulai meremas dan mengurut-urut sendiri punyaku. Sementara ia mulai memijat bagian depan kaki dan pahaku. Senjataku secara frontal nyaris tegak mengacung di hadapannya. Sengaja aku memamerkan semua ini. Toh dari tadi aku sudah cukup terbuka padanya.
"Gede juga," tiba-tiba ia nyeletuk dengan tawa tertahan. Sialan, aku tambah ngaceng mendengar komentarnya.
"Gedean mana sama punya sampean?" pancingku.
"Hmm.. Sama lah," sahutnya.
Tiba-tiba tangannya yang tengah memijat pahaku itu terulur dan meraih punyaku. Aku sempat menahan nafas. Ada beberapa saat ia sempat menggenggam dan meremas batang kemaluanku. Darahku langsung berdesir. Aku hampir berteriak kegirangan. Tapi sesaat kemudian ditariknya lagi tangannya. Terus terang aku kecewa. Tapi keyakinanku mulai timbul lagi.
"Punya sampean keras banget," rupanya tadi ia ingin mengetes kematangan 'pisang ambon'-ku. Komentarnya membuatku semakin terinspirasi untuk berbuat lebih jauh. Aku kembali mulai memilin-milin batang kontolku. Bahkan kali ini aku mulai melakukan gerakan mengocok, pelan dan kuat secara bergantian. Beberapa kali kutangkap matanya memperhatikan gerakan tanganku dengan pandangan tertentu. Membuatku semakin vulgar beronani di depan dia.
"Sampean mau bantuin nggak?" akhirnya aku meminta. Kurasakan kalimatku agak tercekat oleh gejolak birahi yang makin mengental. Kulihat dia sempat menarik nafas. Lalu kembali ia cuma senyum-senyum saja dan meneruskan pijatannya di pahaku. Ya sudah, pikirku. Aku akan menyelesaikannya sendiri kalau memang ia tak mau.
Ada beberapa saat aku asyik meloco dengan kocokan-kocokan yang makin kuat dan liat. Cairan bening sudah banyak keluar dari lubang kecil di ujung kepala kontolku dan mulai meleleh. Aku meraihnya dan mengoleskannya ke sekujur batangku, lalu menggunakannya sebagai pelumas. Kembali aku memompa kontolku dengan gerakan yang sudah rutin aku lakukan. Aku mulai melenguh kenikmatan. Sementara ia masih mulai memijat bagian dada dan perutku. Matanya sesekali mengamati perbuatanku dengan pandangan agak serius.
Akhirnya aku tak kuat lagi. Kucoba meraih tangannya dan mengarahkannya ke selangkanganku. Semula ia pasif saja. Tapi tanganku terus membimbingnya untuk meremas dan mengocok milikku. Sampai sesaat kemudian ia mulai merespon. Pelan-pelan kulepas tanganku. Kini tangannya mengambil alih memijat milikku! Sementara tangannya yang lain pelan-pelan mulai mengusap-usap dan mempermainkan jembut yang ada di bawah perut dan sekitar lipatan pahaku. Bingo!
Aku menghela nafas lega, memejam mata dan meresapi sentuhan tangannya. Akhirnya kesampaian juga keinginanku untuk di-onani oleh seorang tukang pijat. Kegembiraanku lalu berganti dengan desah dan lenguh kenikmatan. Ia benar-benar mau membantuku. Sentuhan jari dan tangannya memang sepertinya terlatih untuk memijat. Kadang hanya dengan dua jari ia menjepit batangku, lalu memijat-mijatnya, dan itu sudah menimbulkan rasa yang sangat enak sekali. Jarinya bergerak laksana sedang memanjat sebuah pohon berbatang lurus dengan gerakan naik turun secara teratur.
Beberapa saat kemudian ia menjepitkan jarinya pada pangkal kemaluanku sehingga membuat batang dan kepala kontolku padat mengeras. Aku senang karena ia penuh dengan inisiatif. Apalagi kemudian ia melumuri sekujur otot kenikmatanku itu dengan minyak yang tadi digunakan untuk memijat. Sesaat kemudian jari-jarinya mulai mengelus, memilin dan mengurut batangku yang mengeras dan penuh minyak itu dengan gerakan yang benar-benar terampil. Badanku sampai bergidik merasakan hasil perbuatannya. Tapi ia malah senyum-senyum melihat aku tersiksa oleh perbuatan tangannya itu. Cukup lama ia mengerjai milikku dengan cara seperti itu, sebelum akhirnya ia melocoku dengan gerakan yang umum dilakukan laki-laki bila sedang onani. Rasanya enak sekali..
"Sampean mau?" tanyaku di sela-sela acara main-main itu. Ia menggeleng dengan gerakan yang lucu. Tapi tanpa sepengetahuannya aku berusaha meraih selangkangannya dan menemukan sebuah tonjolan kenyal yang padat di depan celananya. Aku meremasnya. Ia kaget karena memang tidak menyadari perbuatanku. Ia berusaha menepis tanganku, tapi aku bertahan. Dan akhirnya ia menyerah. Membiarkanku meremas-remas.
Kurasakan tonjolan di bagian depan celananya itu mulai memadat. Aku terus berusaha meremas dan mengelus-elusnya dengan kuat. Ia kembali berusaha menepis, tapi aku setengah memaksa. Ia lalu mempergencar rangsangannya pada batang kemaluanku agar perhatianku teralih. Bahkan tangannya berusaha mengatur posisi kaki dan pahaku agar lebih terkangkang. Lalu ia mulai mengocokku dengan gerakan lebih liat dan kuat. Sisa olesan minyak tadi memperlancar gerakan tangannya, membuat kontolku meluncur-luncur licin dalam genggamannya. Benar saja, konsentrasiku buyar dan aku melepas tanganku dari selangkangannya. Aku kini lebih terfokus menikmati pijat auratnya itu. Kurasakan desiran-desiran rasa nikmat mulai merayapi pangkal kemaluanku. Tubuhku beberapa kali menggelinjang tak terkendali. Sementara ia mempermainkan kontolku dengan berbagai variasi yang setiap gerakannya memberiku rasa nikmat yang terus mengalir. Mulutku hanya bisa ber-'ah uh' saja merasakan itu semua. Dan ketika ia mulai mengerjai biji pelirku dengan cara meremasinya dengan minyak, sementara tangannya yang lain mengurut-urut batangnya, aku mulai merasakan puncak birahiku datang menjelang. Beberapa kali tanpa sadar pantatku tersentak ke atas, seiring gerakan yang ia lakukan pada wilayah di sekitar alat vitalku itu.
Aku merintih dan terus merintih. Nikmat itu makin mengental. Ia mengurut dan terus mengurut. Makin nikmat. Tambah nikmat, dan.. Ohh, tubuhku melenting, menggeliat, menggelepar tak karuan. Kucengkeram ujung sprei yang sudah sejak tadi berantakan dan basah oleh keringatku. Tubuhku mengejang. Mulutku mendesis-desis keenakan. Dan akhirnya aku mengerang cukup keras ketika ejakulasiku datang dengan derasnya.. Perut dan spreiku basah oleh cairan mani yang memancar banyak dan berkali-kali dari ujung lubang kontolku. Aku berusaha menahan tangannya yang terus menggenggam milikku yang sudah kelojotan itu. Tapi ia bertahan. Dan ia baru melepas tangannya ketika aku berusaha menggapai-gapai dan membalas meremas selangkangannya.
Ada beberapa saat kami saling meremas-remas. Kurasakan senjatanya sudah sangat mengeras. Ketika aku berusaha membuka celananya, ia malah berdiri dan kemudian menarik resleting dan melepas sendiri celananya sehingga kini bagian bawah tubuhnya hanya tertutup celana dalam saja. Sementara ia belum melepas kaos oblongnya yang mulai basah oleh keringat itu. Terus terang aku takjub dan kaget dengan apa yang ia lakukan. Malam ini aku tak hanya mendapat service tambahan, tapi tampaknya sebentar lagi akan kudapatkan juga tubuh laki-laki ini.
Bersambung . . . .