Ketika celana dalamnya yang berwarna putih itu akan dilepasnya, aku menahannya. Aku lalu duduk di tepi ranjang, menghadap dia yang berdiri mengangkang di depanku. Dan ketika ia sibuk melepas baju kaosnya, kuulurkan tanganku untuk meraih benda bulat panjang yang menonjol miring di bagian depan celana dalamnya. Kuelus dan kugosok-gosok sekujur otot kelelakiannya itu. Ia menghela nafas beberapa kali merasakan perbuatanku. Dadanya yang bidang itu kembang kempis oleh desakan nafsu birahinya. Sesekali tanganku merayap ke sana, memainkan putingnya yang banyak ditumbuhi rambut halus.
Ketika akhirnya kain segitiga putih yang membalut sisa tubuhnya itu kutarik ke bawah, kulihat batang bulat panjang dengan kepala kontol yang besar membonggol, basah oleh cairannya sendiri. Jembutnya lebat keriting. Kulit skrotum-nya padat dan penuh bulu. Aku mengelus-elus bagian itu. Dan kurasakan tubuhnya bergidik. Dan ia pelan-pelan meregangkan pahanya. Seolah memintaku untuk berbuat lebih. Dan aku meneruskan perbuatanku mengelus-elus biji pelirnya. Tubuhnya kembali bergetar akibat sentuhanku itu. Beberapa saat kemudian tangannya bergerak ke bawah dan mencoba mengocok miliknya sendiri. Kubiarkan. Aku justru menikmati pemandangan langka: seorang laki-laki tengah onani. Tubuhnya tersengal-sengal oleh gerakan tangannya yang menurutku agar kasar itu. Nafsunya mungkin sudah sampai ke ubun-ubun. Mulutnya menggeram tak jelas. Aku takut ia muncrat sebelum aku sempat menikmatinya. Kuminta ia untuk berbaring saja di kasur. Dan ia menurut.
Tubuhnya segera rebah. Pahanya yang gempal padat itu langsung terbuka mengangkang. Poisisinya seolah memintaku untuk segera 'menyetubuhi'nya, layaknya beberapa laki-laki yang pernah tidur denganku. Aku lalu naik ke ranjang dan memposisikan tubuhku di antara rentang pahanya. Tanganku langsung menggenggam. Benda bulat panjang itu pun langsung bereaksi. Berdenyut-denyut dalam genggamanku. Hangat dan pejal. Tubuhnya mulai gelisah. Matanya terpejam tapi mulutnya seperti ikan tengah kehabisan air.
Kini gantian aku harus melayani hasrat seksual laki-laki pemijat yang baru kukenal ini. Malam ini aku seperti mendapat durian runtuh. Dan durian itu sebentar lagi akan kubelah. Kuendus aromanya. Aroma khas tubuh lelaki: bau selangkangan yang lembab oleh keringat birahi. Sementara daging dalam genggamanku laksana daging durian yang mengkal siap santap. Maka, aku pun tak kuasa untuk langsung melahapnya! Aku tak peduli apakah ia tahu perbuatanku atau tidak, berkenan atau tidak, aku tak peduli. Mulutku langsung penuh. Langsung melumat dan melamuti bagian kepala 'durian' runtuh ini. Ia menggeliat dan mulutnya mengerang penuh kenikmatan. Tiba-tiba kurasakan tangannya memegangi kepalaku. Jadi ia tahu apa yang kuperbuat. Dan tampaknya ia menyukainya. Tangannya berusaha menekan kepalaku, memintaku untuk menelan lebih banyak dan lebih dalam. Terus terang aku harus berusaha keras karena ukurannya gede. Tapi aku menyukainya. Daging kontolnya terasa liat dan legit dalam jepitan mulutku. Meluncur licin dalam pilinan lidah dan bibirku. Benda itu sudah basah kuyup oleh ludah dan mungkin precum-nya yang sesekali terasa asin di lidahku. Kontol tukang pijat ini memang enak untuk diisap dan dikenyot-kenyot.
Entah sudah berapa lama aku tak menikmati kontol lelaki. Makanya malam ini aku seperti balas dendam. Bukan hanya batang dan kepala kontolnya saja yang jadi bulan-bulanan mulutku. Daerah sekitar celah paha dan selangkangannya yang penuh bulu pun tak luput kujelajahi. Beberapa kali ia sempat meronta kegelian, sampai aku harus menindih kakinya agar tak banyak bergerak. Dan ketika aku menarik batang penisnya ke atas, lalu secara merata kujilati kantung pelir dan daerah bawah di dekat lubang anusnya (tulang pirenium), ia mengerang dan punggungnya terangkat. Tentu saja ia kegelian. Aku pun pernah merasakan dikerjai di daerah itu. Makanya tak heran, suara 'ah-oh' yang panjang mulai keluar dari mulutnya ketika aku terus menelusupkan mulutku ke bagian itu. Beberapa kali kudengar guMaman dan suara menggeram yang tak jelas dari mulutnya. Ia terlihat sangat kenikmatan. Sekilas kulihat tubuh dan wajahnya sudah penuh keringat. Kumisnya tampak basah, sementara mulutnya menguncup dengan nafas yang menderu.
Beberapa saat kemudian tubuhnya menggelinjang hebat. Pahanya berusaha menjepit kepalaku yang masih terbenam di selangkangannya. Terus terang aku agak kewalahan.
"Aku mau keluarhh.. Mau keluarhh..," desahnya sambil mengarahkan tangannya ke kontolnya. Aku segera mengambil alih. Dan ia menarik tangannya kembali. Segera ku-onani dia dengan gerakan yang pelan namun liat bertenaga. Kini kedua tangannya terentang ke atas. Pasrah dalam kenikmatan. Kepalanya meliuk-liuk tak karuan. Bulu ketiaknya yang lebat tampak menyeruak basah penuh keringat. Kedua kakinya kini terjulur, merentang ke samping. Tapi pinggulnya pelan-pelan bergerak ritmis, seiring kocokan tanganku. Tampak sekali ia menikmati perlakuanku.
Ada beberapa saat suasana agak hening. Yang terdengar hanya suara kocokan tanganku pada kontolnya dan desah kenikmatan dari mulutnya. Pinggulnya sesekali masih berputar-putar mengikuti remasan yang kulakukan. Lalu pelan-pelan ia mulai gelisah. Kali ini pantatnya mulai menyentak-nyentak ke atas. Lalu gerakan pinggulnya makin tak teratur. Patah-patah. Lalu mengejang. Dan akhirnya cairan putih kental menyembur banyak dan berkali-kali dari lubang kontolnya. Sebagian tumpah di atas perut dan dadanya. Tapi ada sebagian tadi yang muncrat ke wajahku. Segera saja aroma khas sperma menyebar. Aku menghirupnya laksana udara pagi yang segar menyehatkan. Aku puas melihat ia puas. Tapi tanganku masih berusaha memijati batang kontolnya yang mulai melemas. Sementara ia menggelepar lunglai dengan tubuh basah kuyup. Sesekali tubuhnya tersengal diiringi suara desah kepuasan dari mulutnya. Matanya merem melek, sayu, tapi penuh rasa puas.
"Gimana? Enak kan?" kataku sambil mendekat ke wajahnya. Senyumnya mengembang. Tangannya lalu meninju bahuku. Kami lalu tertawa bersama.
"Sampean ini..," katanya sambil berusaha bangun.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bisa saja..," sahutnya masih tak jelas.
"Sampean nyesel ya?" tanyaku lagi. Ia menghela nafas. Lalu menggeleng.
"Belum pernah saya begitu," katanya.
"Begitu gimana? Diisap?" tanyaku penasaran.
"Semuanya!" sahutnya. Kembali kami tertawa.
"Tapi gimana? Enak 'kan? Suka nggak?" aku memberondong.
"Yahh, lumayan. Sudah dua minggu nggak muncrat!" katanya sambil ngakak.
Pantas, kataku dalam hati sambil mengamati tubuh bugilnya yang mulai beranjak bangun. Baru kusadari kalau laki-laki ini sexy sekali. Seluruh rambut dan bulu yang ada di tubuhnya tampak basah oleh keringat. Aku membiarkannya beberapa saat, sebelum akhirnya kupinjami ia handuk untuk mengeringkan tubuhnya.
Kami lalu berpakaian. Kubayar ia dua puluh ribu, tarif standar. Lalu kutambahi sepuluh ribu. Ia tertawa dan berusaha menolak, karena ia juga merasa mendapat 'service tambahan'. Tapi aku memaksanya untuk menerima uang itu. Tentu saja aku mengharap dia masih mau datang lagi. Dengan gaya kocak ia mengiyakan permintaanku, meski aku sendiri ragu.
Malam itu aku tidur dengan rasa puas. Puas karena kudapatkan laki-laki yang mungkin bisa jadi tempat pelampiasan birahiku selama ini. Hanya satu yang agak kusesali mengenai kejadian malam itu: aku lupa menanyakan namanya!
Ternyata namanya Hasbi. Suatu malam, setelah kurang lebih sebulan sejak pertemuan pertama dulu, dia kembali muncul. Kudapati ia sedang duduk di teras depan rumah kos menunggu aku pulang dari kantor. Katanya ia menunggu sejak maghrib tadi. Terus terang aku surprise dengan kedatangannya yang tampaknya sangat diniati itu. Tentu saja aku senang. Karena ia pasti punya maksud lebih dari sekedar ingin menawarkan jasa pemijatan.
"Kok tahu kalau saya lagi pegal-pegal?" aku mulai becanda setelah kami saling bersalaman dan bertegur sapa layaknya kawan akrab. Ia cuma ber-'he he he' saja menanggapi guyonanku. Segera kupersilakan ia masuk ke kamar. Saat itulah aku menanyakan namanya dan ia menanyakan namaku. Lucu juga, kami baru berkenalan setelah sekitar sebulan ketemu.
Ternyata ia baru datang dari kampungnya. Ia membawa travel bag penuh berisi pakaian dan oleh-oleh. Ada sebulan ini ia pulang ke kampung. Pantas, pikirku. Selama ini aku tak pernah melihatnya beredar. Waktu itu aku sempat berpikir, jangan-jangan ia kapok dengan kejadian yang pernah kami lakukan dulu.
"Ya nggak lah," jawabnya ketika kutanyakan hal itu, "Saya pulang kampung mendadak. Paman saya sakit. Sekarang sudah sembuh," lanjutnya bercerita.
"Oo, terus ke sini mau ngapain?" aku mencoba menggodanya. Awalnya ia agak kaget dengan pertanyaanku itu. Tapi aku lalu menetralisir dengan tawaku.
"kalau gitu, saya pulang saja deh!" balasnya pura-pura ngambek sambil ketawa.
Aku lalu berbaring melepas penat. Sementara ia sibuk dengan isi travel bag-nya dan memberiku oleh-oleh makanan khas kampungnya.
"Makasih Mas Hasbi. Sampean baik banget sih," kataku.
"Walah, wong cuman oleh-oleh gitu kok," sahutnya dengan nada kocak.
Hasbi kulihat tampak lebih legam. Rambut ikalnya juga terlihat agak panjang. Ia sedikit gemukan. Tapi terus terang ia jadi kelihatan lebih ganteng. Cambang dan berewoknya tampak tak tercukur. Tapi menurutku malah pas dengan kumisnya yang khas itu.
"Mas Bowo, saya boleh numpang mandi nggak?" tanyanya kepadaku. Sialan! Mendengar kata 'mandi', tiba-tiba ada yang mengeras di dalam celanaku.
"Boleh saja. Mau mandi bareng apa?" sahutku menggoda.
Ia memeletkan lidahnya ke arahku. Meledek. Aku geli melihat ulahnya. Tapi aku merasa ia masih 'jaga jarak' denganku untuk hal-hal yang sensitif. Dan aku tak mau memaksa. Lagi pula jam segini teman-teman kos sudah mulai pada pulang.
"Boleh saya pinjam handuknya?" katanya kemudian.
"Boleh," aku lalu mengambil handuk dari lemari pakaian dan memberikan kepadanya."Sabun dan lain-lain ada di kamar mandi, di tempat plastik warna hitam," kataku menjelaskan.
"Ok. Makasih. Tapi saya mau ngelempengin punggung sebentar ah!," katanya sambil berbaring di karpet.
"Tiduran di atas aja Mas," kataku.
Tapi ia menolak. Aku lalu beranjak, nyetel musik, ganti pakaian, ambil minuman buat dia dan kembali berbaring di kasur. Kulihat matanya terpejam berbantal kedua tangannya. Sementara kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik. Aku mengambil koran dan mulai baca berita.
"Kamar mandinya sebelah mana?" katanya tiba-tiba. Ia sudah berdiri, bersiap mau mandi.
"Dari kamar ini ke kiri. Terus ke ke belakang, belok kanan," kataku menjelaskan.
"Ok. Saya mandi dulu ya!" ia pamitan.
"Ok," sahutku pendek.
Tak kuteruskan membaca koran. Karena kembali aku merasakan ketegangan di dalam celanaku. Membayangkan ia mandi, sambil menggosok tubuhnya yang padat berbulu. Ah! Aku sampai merogoh ke dalam celanaku dan mulai mengelus-elus milikku sendiri. Malam ini ada kejadian dengan dia nggak ya? Pikiranku menerawang ke mana-mana. Lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada handuk yang tadi kuberikan padanya, ternyata masih ada di atas kursi. Ia lupa membawanya. Segera kuambil handuk itu dan kuantar ke kamar mandi. Pikiranku makin ke mana-mana. Terus terang birahiku jadi naik. Nafasku menderu. Beberapa kali aku sampai menarik nafas.
Ada beberapa saat aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Kebetulan waktu itu tidak ada teman kos yang kelihatan di sekitar situ. Sayup-sayup kudengar ia bersenandung. Entah lagu apa. Kontolku mulai ngaceng lagi.
"Mas Hasbi," kataku mulai mengetuk. Baru pada ketukan ketiga pintu dibuka.
"Handuknya ketinggalan," kataku setengah berbisik.
Ia sudah basah kuyup. Setengah tubuh bugilnya terhalang pintu. Tapi aku bisa melihat pinggulnya yang telanjang polos menyembul. Aku menelan ludah. Ia menerima handuk sambil tersenyum dan melihat ke arahku penuh arti. Sejenak kami bertatapan. Aku kembali menelan ludah.
"Makasih," katanya dan ada gelagat untuk tak segera menutup pintu.
Aku bisa menangkap sinyal-sinyal seperti itu dalam hitungan detik, dan tak boleh kusia-siakan. Maka kudorong pintu kamar mandi. Ia diam saja, bahkan mundur untuk memberiku jalan masuk. Begitu berada di dalam, mataku langsung terarah ke kontolnya. Besar, tapi belum tegang. Jembutnya yang lebat itu tampak basah kuyup. Kami lalu bertatapan. Hampir bersamaan aku dan dia menarik nafas. Sinyal kedua. Dan aku yakin akan ada kejadian malam ini. Maka segera kulolosi pakaianku, menemaninya mandi.
Bersambung . . . .