Konsentrasiku buyar ketika kurasakan tangan Om Wi' meremas milikku dengan sabun. Aku kegelian dan berusaha menghindari tindakannya lebih lanjut. Tapi ia terus mendesak sampai tubuhku merapat di dinding kamar mandi, membuat wajah kami kini saling berhadapan, dekat sekali. Ia menatapku dengan pandangan dan senyum yang sulit kuartikan. Sementara tangannya di bawah sana terus meremas-remas. Aku diam saja menunggu apa maunya. Nafas kami telah beradu. Dan sesaat kemudian, entah siapa yang mulai, bibir kami bertemu.
Sejauh ini Om Wi' memang biasa mencium kami, entah di kening atau pipi. Tapi kali ini, ia mencium bibirku. Dan ini bukan ciuman kasih sayang. Aku lebih merasakannya sebagai ciuman birahi, penuh nafsu. Lidahnya menjulur dan bermain-main dalam mulutku. Dan anehnya, aku merespon semua itu. Maka akhirnya kami pun tenggelam dalam ciuman yang makin lama membuat birahiku bangkit kembali. Inilah yang membuatku tidak dapat menolak, ketika Om-ku yang ganteng itu pelan-pelan merayap ke bawah dan melahap penisku yang sudah tegang membesar.
Oh, inikah yang disebut oral seks itu? Ada sensasi yang sulit untuk kugambarkan. Hisapan dan gerakan lidah Om Wijoyo di bawah sana menciptakan rasa nikmat yang belum pernah kurasakan. Aku tidak sempat berpikir lagi dari mana dan mengapa Om Wi' dapat melakukan perbuatan itu. Dan aku makin tidak mampu berpikir lagi ketika tiba-tiba tangan kanannya merayap ke belakang, ke bongkahan pantatku dan meremasnya. Lalu pelan-pelan tangan itu menelusuri garis tengah pantatku dan salah satu jarinya mulai menelusup ke celahnya. Semula aku sempat tersentak kaget. Tetapi sebuah kenikmatan yang aneh tiba-tiba menyebar di bagian bawah tubuhku dan tanpa sadar aku melenguh keenakan. Bahkan tanpa kusadari, kedua pahaku pelan-pelan meregang seiring dengan rangsangan tangan Om Wijoyo di celah belakang tubuhku.
"Oommhh.. Omm..!" rintihanku bergema di dinding kamar mandi.
Aku tidak perduli lagi seandainya suaraku sampai terdengar orang lain. Om Wijoyo pun tampaknya juga tidak perduli dengan rintihanku itu. Ia masih terus mengelamuti batang kemaluanku seperti orang kehausan tengah menikmati es lilin. Sementara di sisi lain jari-jari tangannya makin nakal menelusuri lubang kecil di celah pantatku.
Entah sudah berapa menit aku bersandar sambil menggeliat-geliat di dinding kamar mandi karena ulah Om Wi'. Dan ketika aku merasakan sebentar lagi mau mencapai puncak, tiba-tiba ia menghentikan semuanya dan kembali berdiri menghadapku. Kulihat kumisnya berlepotan air liurnya sendiri. Matanya sayu dan nafasnya agak ngos-ngosan. Batang kemaluannya tampak mengacung tegak di depan milikku yang meradang butuh penuntasan. Lucu rasanya membandingkan kedua benda bulat panjang itu. Entah punya siapa yang lebih besar, sulit membandingkannya karena bentuknya yang berbeda. Bagian kepala kemaluanku berukuran lebih besar, sedangkan milik Om Wi' batangnya lah yang terlihat lebih padat. Rambut kemaluannya juga tampak lebih lebat dibandingkan punyaku.
"Hend..," suaranya tiba-tiba berubah tegas. "Kamu harus bisa jaga rahasia ini."
"Kok, Om nanya begitu?" aku agak tersinggung dengan ucapannya.
"Karena Om yang mulai ini semua. Dan Om telah.." ia tak melanjutkan, tetapi memberi isyarat bahwa ia baru saja melakukan oral seks padaku.
"Kok nggak diterusin?" sahutku agak nakal.
Padahal aku sebenarnya nervous sekali dengan hisapan mulutnya tadi.
"Kamu menikmatinya?" tanyanya.
Aku mengangguk, sok yakin.
"Emang kenapa Om?" gantian aku bertanya.
"Oh, nggak. Nggak pa-pa," jawabnya membuatku penasaran. Tapi aku tidak bertanya lagi.
"Kita selesaikan mandinya dulu ya. Nanti Om cerita banyak sama kamu," katanya kemudian.
Dan kami pun lalu mandi. Kali ini benar-benar mandi. Tanpa acara yang 'aneh-aneh'.
Siangnya Om Wi' mengajakku jalan-jalan. Putar-putar kota. Padahal ia hanya bermaksud mengajakku ngobrol. Sepertinya ada sesuatu yang harus ia sampaikan padaku. Dan kami akhirnya memilih sebuah kafe yang terletak agak di pinggir kota. Semua yang diceritakan Om Wijoyo adalah mengenai sisi lain dari kehidupannya selama ini. Kalau saja tidak terjadi peristiwa antara aku dan ia tadi pagi, mungkin aku akan kaget mendengar penuturannya.
Om Wijoyo ternyata seorang biseks. Tapi ia jarang, bahkan sangat jarang, berhubungan dengan laki-laki. Apalagi sejak ia menikah. Katanya, pengalamannya dengan laki-laki dapat dihitung dengan jari tangan. Tidak lebih dari sepuluh kali seumur hidupnya. Namun sepeninggal istrinya, Om Wi' merasa kesepian sehingga kenangan serta kesempatan berhubungan dengan laki-laki kembali mengganggunya.
Siang itu aku hanya jadi pendengar. Aku tidak mencoba untuk berkomentar atau bertanya. Karena aku sendiri akhirnya jadi mempertanyakan tentang orientasi seksualku. Sejauh ini aku merasa wajar-wajar saja, meskipun aku bukan termasuk orang yang menghujat hubungan sejenis. Tapi belum pernah aku terlibat atau melibatkan diri dalam lingkungan seperti itu, hingga kejadian tadi pagi. Dan anehnya, aku tidak merasa bersalah, bahkan cenderung menikmatinya. Kalau pun ada ganjalan, itu lebih karena aku melakukannya dengan Om-ku sendiri.
Tapi sekarang, demi menyimak ceritanya Om Wijoyo, aku justru semakin dapat menerima ia apa adanya. Karena semuanya bukan tanpa sebab dan alasan yang tidak jelas. Om Wi' menceritakan semua permasalahannya padaku. Dan aku percaya padanya. Bukan saja karena ia memang orang yang dapat dipercaya, tapi sepertinya baru kali inilah ia bisa curhat habis-habisan dengan orang lain tentang sisi lain dari kehidupannya.
"Ya baru dengan Hendro inilah Om bisa bicara semua," katanya mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas.
Sepertinya ada kelegaan yang mendalam setelah ia mengatakan semua itu. Aku sendiri sekarang jadi kebingungan. Di satu sisi aku masih gamang karena belum mengenal jauh tentang dunia itu. Di sisi lain, sepertinya aku tiba-tiba mulai simpati pada Omku dengan perasaan simpati yang lain. Aneh. Rasanya aku sendiri tidak yakin dapat menolak bila ia kembali mengajakku untuk 'bermain-main'. Ada dua kekuatan yang saling menarik. Dan aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Sudah?" itulah kalimat terakhir yang diucapkan Om Wi' sebelum kami meneruskan acara jalan-jalan.
Terus terang, sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Sementara Om Wi' menawarkan diri untuk gantian menyetir mobil. Entah berapa kali ia melirik ke arahku. Tapi aku tetap diam saja, menatap lurus jalanan di depan.
"Sekarang terserah kamu Hend," ia mulai bicara ketika kami berhenti di perempatan lampu merah. "Terserah kamu ingin menilai Om seperti apa."
"Rasanya saya nggak berhak memberi penilaian pada Om," sahutku datar.
"Ya. Tapi masalahnya Om sudah melibatkan kamu. Dan, terus terang, Om suka sama kamu Hend..," suaranya agak tersendat, bukan karena mobil kami mulai jalan lagi, tapi karena emosinya mulai bergejolak.
"Kami semua juga suka sama Om Wi'. Saya juga. Cuma..," aku menelan ludah.
"Maaf ya. Om Wi' sudah mengajakmu berbuat yang nggak-nggak," wajahnya terlihat agak sendu.
"Bukan begitu maksud saya," kataku cepat-cepat. "Saya hanya perlu waktu," lanjutku sambil menatap ke arahnya.
Yang kutatap tidak bergeming. Matanya lurus ke depan dan tangannya terlihat agak tegang memegang setir mobil. Aku lalu memegang dan menepuk-nepuk pahanya untuk menenangkan emosinya. Kutawarkan ia untuk nonton saja, biar kejadian siang ini menjadi cair. Dan ia menyetujui. Namun ia sepertinya masih nervous. Karena sepanjang film diputar, Om Wi' terus menggenggam tanganku, seolah tidak mau melepaskan aku dari sisinya.
Kami kembali ke rumah sekitar jam tujuh malam. Sehabis nonton tadi, kami langsung cari makan di warung tenda dulu. Anehnya, selama makan Om Wi' sudah mulai 'stabil' lagi. Ia mulai bercerita banyak seperti biasanya. Tertawa dan terus melepas plesetan-plesetan khas orang Yogya.
Ibu agak ribut karena kami sudah makan di luar. Padahal di rumah sudah disediakan makan malam kesukaan Omku. Tapi bukan Om Wijoyo kalau tidak berusaha menyenangkan semua orang. Ia pun tetap ikut ketika kami sekeluarga makan malam, sekedar mencicipi masakan Ibu. Aku sendiri malah tidak ikut acara makan malam itu, karena tadi sudah kenyang. Ayah kemudian memintaku untuk menjemput Bayu adik bungsuku yang sedang ikut opspek. Sekitar jam sepuluh aku sudah sampai rumah lagi.
Ketika masuk kamar, kulihat Om Wi' terbaring miring membelakangi pintu masuk. Entah ia sudah terlelap atau belum. Ia tampak berbaring memakai sarungku yang kemarin kusampirkan di sandaran kursi. Sejenak aku hanya dapat memandangi punggungnya. Ada sedikit keringat membasahi kaosnya. Aku kemudian menuju ke kamar mandi.
Ketika urusanku di kamar mandi selesai, kulihat ia masih terbaring seperti tadi. Rupanya ia sudah tidur. Dan aku pun lalu bersiap untuk istirahat juga. Sejenak kulirik kembali Om Wi' sebelum aku berbaring di sampingnya. Kulihat keringat makin banyak membasahi kaosnya terutama di bagian punggung. Padahal udara malam ini tidak sedang gerah. Atau aku saja yang tidak merasa kegerahan, karena saat ini, seperti biasanya, aku tidur hanya bercelana dalam saja. Atau, jangan-jangan Om Wi' sakit?
Kugeser badanku ke arahnya dan kutengok wajahnya. Gerakanku rupanya membuatnya terjaga. Aku jadi tidak enak sendiri.
"Ada apa, Hend?" sambil badannya berbalik menghadapku.
"Ehm, nggak," aku jadi serba salah. "Punggung Om Wi' basah. Kegerahan apa..?" kataku sambil memegang dahinya apakah terasa panas.
Yang kupegang malah senyum. Dan memang suhu badannya kurasakan normal.
"Om cuma kepanasan saja kok," ujarnya sambil menepuk bahuku dan beranjak duduk. Lalu menguap.
"Maaf ya Om, tidurnya jadi terganggu," kataku.
"Justru kalau nggak kamu bangunin, Om bisa masuk angin karena punggung yang basah begini," sahutnya mulai berteori tentang kesehatan sambil menarik lepas kaosnya ke atas, lalu berdiri dan menuju kamar mandi.
Tiba-tiba sebuah perasaan aneh menjalariku, ketika melihat sosok Om Wijoyo yang melenggang ke kamar mandi. Dari arah belakang, tubuhnya yang hanya berbalut sarung itu terlihat lebih gagah dan sexy! Punggung yang putih itu terlihat bidang dan kokoh. Pinggangnya meskipun tidak ramping lagi, tapi tetap berbentuk. Dan dari balik sarung, bongkahan pantatnya tampak bulat menonjol dan padat. Tidak dapat kupungkiri lagi, malam ini ada sebuah magnet yang membuatku terjerat oleh pesona Om Wijoyo.
Dan orang yang tengah memenuhi pikiranku itu tiba-tiba sudah kembali berbaring di ranjang. Tepat di sebelahku. Tangannya langsung terulur, memeluk dan mendekapku. Aku menutup mata dan menarik napas. Tidak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya dengus napas ringan di antara kami berdua. Dan dengusan itu lama-lama menjadi agak berat, seiring dengan degupan yang dapat saling kami rasakan dalam posisi berdekapan seperti itu.
Bersambung . . . .