Pada hari kedua aku bermalam di tempat kost Roni datanglah Darma. Aku sudah lama mengenalnya, dia kawan kuliah Roni. Tampangnya mengingatkan Andre Hehanusa penyanyi dari Ambon itu. Dia rupanya sengaja diundang Roni. Saat ketemu aku,
"Ah sobat.., aku udah lama ngincer kamu loh..".
Kami sama-sama tertawa. Kami langsung terlibat dalam pergumulam seksual segi tiga. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Kemaluan Darma ya, normal-normal saja. Yang aku tertarik dari dia adalah tampannya dan bulu-bulunya yang lebat di sekujur tubuhnya. Aku menikmati sekujur tubuhnya melalui jilatan lidahku. Aku menikmati asin keringat kelelakiannya. Pada kesempatan pertama dua batang penis pria-pria jantan menyemprotkan air maninya ke mulutku hampir secara bersamaan. Aku sangat puas. Aku sendiri sangat dirundung nikmat syahwat hingga air maniku tumpah saat menerima semprotan mereka itu.
Yang kusaksikan selanjutnya Roni melakukan sodomi pada Darma. Adegan itu membuat aku serasa panas dingin. Darma yang nungging merintih digenjoti oleh Roni. Aku melihat betapa kenikmatan melanda Roni dan Darma. Penis Roni yang gede dan panjang itu membuat mereka berasyik masyuk dan larut dalam kancah birahi. Tibalah saatnya Roni kembali memuntahkan spermanya di seputar lubang anal Darma. Kulihat cairan kental meleleh terbawa keluar masuk batang Roni di anal Darma. Kemudian Roni mencabut penisnya dan mengasongkan ke aku. Aku langsung tahu yang dia maui. Aku mendekat dan membersihkan penis gede Roni itu dengan lidahku. Aku rasakan sepat-sepat di lidahku. Itu pasti bagian dari rasa yang terbawa dari anal Darma. Aku tanpa ragu. Kujilati batang dan kepala kemaluan itu hingga bersih. Kemudian bak anjing piaraan, kepalaku dituntun ke lubang dubur Darma yang masih nungging dan belepotan oleh sperma Roni. Aku mesti membersihkannya pula. Dalam desakan birahiku yang terus menyala dan membara itu semua kulakukan dengan sepenuh nikmatku. Dalam aroma yang khas yang menyerbu hidungku kulumati cairan kental sperma Roni tercampur warna ke kuning-hijau-an dari lubang anus Darma. Itulah peristiwa pertama bagi lidahku mencicipi nikmatnya aroma dan rasa lubang dubur. Dan sesudah peristiwa itu aku berkeyakinan bahwa apapun yang keluar dari pria tampan atau pria berpenis gede akan memberikan kenikmatan syahwatku. Sepintas aku ingat beberapa tahun yang lalu saat Pak Arwan menjilati anusku.
Liburan semester.
Kembali ke awal cerita ini mengenai obsesiku pada Anggoro. Bermula dari program anak-anak se-RT kami dalam rangka mengisi waktu selama liburan semester. Program ini memberiku harapan obsesiku tersebut di atas nampaknya akan terwujud. Kebetulan cuaca baik. Pada malam hari bulan terang karena menjelang purnama. Musim panas dan jauh dari hujan. Kumpulan anak-anak muda RT kami sepakat akan melakukan camping ke kaki gunung Salak di Sukabumi. Diantara mereka ada yang sudah dewasa bahkan cukup tua, termasuk Anggoro yang nampaknya juga semangat untuk ikutan. Untuk refreshing, katanya. Teman-teman lain yang sebaya pada ikutan pula. Siapa lagi yang mau ikutan?, begitu pimpinan rapat bertanya ke para hadirin. Rencananya mereka akan carter bus yang akan mengantar sampai ke desa dekat kaki gunung itu, kemudian ditinggal untuk 2 hari dan kemudian bus datang kembali menjemputnya.
"Mas Basir, ikutan ayo!", teriak pimpinan rapat, "masih ada sisa kursi nih", dia mengajak supaya aku ikutan meramaikan.
"Ntar, ntar.., aku masih ada urusan. Nanti aku beri tahu deh. Kalau OK, aku sudah dilapangan tempat kumpul sebelum berangkat besok. Soalnya pengin juga sih ikut", jawabku sekenanya, sambil terpintas dalam khayalku untuk bisa lebih banyak memandangi Anggoro. Aku memang bergaya sok sibuk, biar nggak terlalu kentara bahwa aku sangat minat ikut terutama disebabkan adanya obsesiku dalam acara itu. Sedap..
Besoknya aku sudah siap dengan pakaian seperti mau safari di hutan Afrika, lengkap dengan ransel, teropong dan topi gunung. Anak-anak menyambut gembira saat aku nampak muncul untuk ikutan. Kulihat Anggoro yang sangat cakep sudah berada di lokasi. Cakep sekali. Ah, dasar bocah bagus. Gayanya yang masih seperti anak bujangan dengan kaos ketat tanpa lengan sehingga menampakkan ketiaknya yang berbulu halus berikut celana tipis lemas yang komprang hingga menampilkan tepian celana dalam dan bentuk pantatnya secara utuh. Apapun yang dia pakai dan tingkah lakunya serba merangsang birahiku. penisku sedikit ngaceng membayangkan akan banyaknya kesempatan mengamatinya sambil "ngloco" (onani) nanti.
Jam 9 pagi bus carteran mulai bergerak menuju sasaran, Aku duduk paling belakang. Kulihat Anggoro berada 2 bangku di depan bangkuku. Aku sengaja tidak mendekat-dekat. Dengan demikian dia tidak curiga dan menjadi kaku menghadapi aku. Sembari duduk melipat kaki ke bangku bus, dengan berbagai bayangan kenikmatan menggauli Anggoro tanganku mengelusi tonjolan penis di celanaku. Kubayangkan macam nikmatnya menjilati tengkuknya dan ketiaknya. Kubayangkan bagaimana nanti aku menyaksikannya telanjang saat mandi bersama. Kubayangkan nanti aku akan mendapatkan kesempatan mengintip saat kencing. Woo.. aahh.. asyik banget.
Sesudah berhenti sebentar untuk makan siang di Cibadak kami meneruskan perjalanan kembali. Jalanan sudah mulai merambat naik kea rah kaki gunung Salak. Anak-anak selalu gembira. Suara harmonika dan gitar yang agak fals saling bersahutan. Dari dangdut, ganti rock, ganti kroncong dan kemudian lagu pop. Sepertinya anak-anak ini benar-benar gemar alam lingkungan. Yah, maklum sehari-harinya biasa ditengah kemacetan metropolitan dan asap knalpot bis kota.
Sesudah perjalanan bus yang cukup melelahkan sekitar jam 3 siang kami telah sampai di desa tujuan. Nampak para penjual buah dan berbagai makanan lain berebut mengasong-asongkan dagangannya sementara kami sibuk menurunkan barang-barang bekal camping. Dengan mennggantungkan ransel dan barang-barang bawaan lainnya kami mulai etape jalan kakinya.
Diantar orang setempat sebagai penunjuk jalan kami mulai memasuki jalan setapak yang semakin mendaki. Aku berjalan persis di belakang Anggoro. Wuiihh.. nikmatnya mengamati bokong. Bokong Anggoro. Siapa tahu aku bisa mengendusi aromanya. Sesekali aku mengelusi penisku yang terus ngaceng sejak tadi.
Dengan sedikit jatuh bangun akhirnya sesudah 2 jam melakukan "hiking" kami sampai di sebuah dataran rumput yang tidak terlampau luas. Kira-kira seluas lapangan volley. Di arah depan sana nampak hutan yang lebat penuh pohon, pakis, onak dan duri. Dan di arah belakang nampak pemandangan lembah yang sungguh menakjubkan mata. Sayup-sayup di kejauhan sepertinya kelihatan kota Sukabumi dan Bogor. Sesuai dengan tugasnya masing-masing anak-anak sibuk memasang tenda, mencari kayu bakar, memotret untuk dokumentasi dan sebagainya. Aku kebagian masak air untuk minum.
Dan tak terlalu lama, 3 buah tenda sudah berdiri mengisi lapangan itu, memutari onggokkan api unggun yang berada di tengah lapangan. Aku mulai melihat-lihat sekitarnya. Di tengah dinding hutan nampak ada jalan setapak yang nampaknya lama nggak pernah dilalui orang. Rumput dan dedaunan rimbun menutupi celahnya. Aku ingin berjalan ke sana. Aku pengin tahu ke mana nanti kalau anak-anak pada kencing atau buang air. Tentu saja bayanganku lengkap dengan saat Anggoro kencing atau berak. Dan dari mana nanti aku bisa mengintip. Dan yang lebih penting lagi, aku harus berusaha bagaimana tingkahku itu tidak kelihatan anak-anak dan membuat orang curiga.
Sore itu anak-anak menghabiskan waktunya dengan bersantai, istirahat dan canda di areal tenda. Rencananya besok pagi pagi mereka akan berpencar menuju sasaran yang berbeda ke ketinggian dekat puncak gunung Salak di sana. Aku sendiri termasuk malas untuk beranjak. Aku hanya senang ramai-ramainya. Dengan duduk-duduk dan sesekali ikut menyanyi perhatianku tetap mengamati Anggoro kapan dia mungkin akan buang air atau kencing. Tetapi pada hari secerah itu susah juga untuk mengikuti kemana dia pergi. Nampak ada barang 1 atau 2 kali dia memasuki jalan setapak itu untuk kencing barangkali, namun terlampau banyak mata yang akan menyaksikan kalau aku berlaku sembrono. Mungkin nanti kalau hari sudah agak gelap. Siapa tahu.
Jam 6 sore
Pemandangan gunung memang penuh hal yang mentakjubkan. Sore menjelang matahari lengser ke peraduan nampak langit cerah temaram merah kekuningan mengisi langit di arah barat. Serpihan awan tertebar menangkap cahaya matahari yang sebentar lagi ke peraduan. Kami berjejer menghadap lereng dan lembah di arah barat untuk menikmati pemandangan yang langka bagi kami orang-orang kota ini.
Kulihat Anggoro berdiri, sebentar menggeliatkan badannya kemudian mulai melangkah memasuki hutan, sementara anak-anak lain masih terpaku berjejer di bibir lembah menghabiskan indahnya matahari. Inilah saatnya, pikirku. Dengan gerak yang sama aku mengikuti dari kejauhan Anggoro melangkah. Nampak rimbunan hutan menggelap. Dengan ranting-ranting dahan yang ditemukan di jalanan Anggoro menyingkapkan rimbunan daun dan semak jalan setapak itu dan memasukinya. Serasa ingin bergegas menyusul, aku menahan diri sambil pelan-pelan tetap memperhatikan pintu semak itu. Kupikir, sebaiknya aku menunggu sesaat.
Dan itu tak begitu lama. Sesaat kemudian nampak dia keluar dari semak-semak sambil tangannya membetulkan kancing celananya. Tak salah lagi dia selesai buang air kecil. Dan pasti nggak begitu jauh dari pintu semak itu. Aku bergegas menyusul dan berlagak seolah ada urusan sendiri. Berpapasan dengannya sambil "Haii!", aku memasuki semak yang sama. Uh, sudah demikian gelap di dalam sini.
Tetapi birahiku yang mendesak tak lantas surut mundur. Aku perkirakan tempat Anggoro kencing tidak lebih 5 meter jauhnya dari awal jalan setapak. Aku coba raba-raba dedaunan di seputar itu dan.. Ah, akhirnya kusentuh daun yang basah. Nggak salah lagi, nih. Dan kusentuh lebih banyak lagi daun basah yang juga menebar aroma air kencing itu. Jantungku menggelegak, nafasku memburu. Aku berjongkok dan mulai kuusapkan wajahku kerimbunan daun itu. Kurasakan wajahku menangkap cairan-cairan air kencing Anggoro. Dan lemudian lidahkupun segera menjilat-jilat rasa asinnya. Aku sangat bergairah. Daun-daun itu kuraih-raih untuk lebih membasahi mukaku, bahkan juga lengan-lenganku, leherku dan kaos oblongku. Akan kubiarkan air kencing Anggoro ini kering di kaos oblongku. Dan aku akan tidur dengan aroma kencingnya itu.
Hari pertama itu aku cukup puas dengan apa yang kudapatkan. Kurasakan wajahku lengket oleh air kencing Anggoro yang serasa bergaram. Aku merancap dua atau tiga kali semalaman sembari mencium dan mengisap-isap air kencing yang kering di kaos oblongku.
Pagi harinya aku agak kesiangan bangun. Tenda sudah kosong. Sebagian pada mencari hangat di seputar per-apian. Sebagian lainnya tak nampak, termasuk Anggoro. Mungkin mereka pada mandi. Hawa pegunungan itu sangat dingin, tetapi kebiasaan mandi bagi orang kota susah untuk meninggalkannya. Aku menyusul menerobos jalan setapak memasuki hutan. Mereka bilang ada kali dan mata air di dalam hutan itu. Aku menuju ke sana. Jalan hutan itu menanjak, penuh akar-akar pohon dan licin. Terkadang aku perlu merangkak. Sambil melihat ke kanan dan kiri aku berusaha menuju kali dan mata airnya.
Nampak di depan ada celah terang dari balik semak hutan ini. Dari jauh sudah kedengaran suara anak-anak di kali. Uh, air kalinya sungguh jernih. Mengalir dari celah batu-batuan dengan gemericik tertampung dalam kolam terbuka. Dari celah-celah riaknya nampak berseliweran ikan-ikan kecil. Kulihat Anggoro dan anak-anak lainnya masih telanjang. Ternyata banyak di antara mereka yang membuat birahiku langsung melonjak. penis anak-anak itu.. Duh.. semuanya sangat seksi. Mereka yang rata-rata usia 15 s/d 25 tahun. Ah, kali ini aku bisa pesta penis, dong. Sebaiknya aku tidak "nongol" dulu. Aku ngintip saja dari semak-semak. Aku cepat berbalik sebelum mereka melihat kedatanganku.
Sesudah cukup hati-hati dan cermat memilih tempat yang aman dan strategis aku tengok kanan kiri dan memastikan nggak ada orang yang memperhatikan dan curiga. Aku berdiri dengan mukaku memandangi anak-anak mandi secara leluasa. Kemudian kukeluarkan penisku dan bergaya seperti orang sedang kencing. Di depanku kini ada panorama anak-anak lelaki pada mandi telanjang dan memamerkan ke-lelaki-annya. Sementara tanganku tanpa aba-aba lagi mulai mengelusi penisku, melepaskan elusan jari-jari dan sesekali pijitan birahi.
Lewat mataku aku berkhayal dan mulai menciumi penis-penis itu. Itu penis Anwar.. ah mungilnya, kuciumi dari selangkangannya dan merambat ke batang, pelir dan kujilati bokongnya. Sementara tanganku dengan halus mengelusi dan menjepit-jepit pelan pada penisku. Aku merasakan nikmat luar biasa.
Saat Darwin nungging buru-buru lidahku menjelajahi lubang duburnya. Duhh.. sedap banget, nih.. Lidahku menjulur mencari-cari lubangnya. Saat Pardi membersihkan daki-dakinya aku pindahkan jilatanku ke ketiaknya yang penuh bulu itu.. penisku semakin mengeras. Enak banget nih..
Bersambung . . . .