Setelah aku menikmati makan siangku seorang diri, sampai aku merasa kenyang sekali, aku menuju ke ruang tamu, duduk di sofa panjang dan berusaha untuk mencari bahan bacaan untuk menghabiskan waktu, akan tetapi aku tidak menemukannya. Dengan demikian timbul keisenganku untuk melihat-lihat ruang-demi ruang yang ada di rumah ini. Aku mulai dari ruang yang berada paling depan sendiri, setelah pintu kubuka dan ternyata tidak terkunci, kulonggokan kepalaku ke dalamnya, ternyata ini adalah merupakan kamar tidur pribadi oomku, kamarnya lebih luas dan perabotannya lebih mewah dibandingkan dengan kamar yang aku tempati, kemudian ruang yang kedua adalah kamar yang aku tempati, sekarang aku menuju ke ruang ketiga yang lebih kecil lagi. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur dengan ukuran satu orang saja, sebuah meja dan sebuah lemari kecil. Semuanya dalam keadaan rapi, bersih dan kosong alias tidak ada yang menempatinya, kemudian aku melangkahkan kakiku menuju ruang selanjutnya setelah keluar dari rumah induk, ada satu ruangan yang terkunci dengan gembok di depannya dan aku memastikan bahwa itu adalah gudang barang-barang yang tidak terpakai, kemudian sebelahnya ada dapur, kamar mandi kecil dan sebelahnya ada WC kecil juga, kemudian ada jalan berbelok menuju satu lorong kecil yang tidak panjang dan di ujung lorong itu ada sebuah pintu dalam keadaan terbuka sedikit.
Aku menghampiri pintu itu dengan perlahan-lahan dan kulihat ke dalam, dan.. "Oh, My God!" ternyata ruangan ini adalah kamar Ujang, cukup sempit sekitar 2,5 X 3 meter saja, yang ada hanya sebuah tempat tidur kayu yang sederhana, sebuah meja kecil dan lemari kecil dan yang paling menarik perhatianku adalah di atas tempat tidur tergeletak tubuh kekar, padat berisi dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam, dengan nafasnya yang teratur turun-naik. Ternyata Ujang kelelahan sehabis membereskan kebun dan memasak makan siang untukku, tapi ada satu bagian yang paling menarik perhatianku, yaitu jendolan yang cukup besar di selakangannya yang kadang-kadang bergerak seolah mengangguk-angguk. Tanganku sudah gatal sekali untuk menyentuh jendolan itu. Timbul peperangan dalam batinku untuk menyentuh jendolan itu saat Ujang sedang terlelap dalam tidurnya atau menunggu saat yang indah sampai nanti malam. Kalau nanti malam Ujang tidak mau dipegang bagaimana? Kan hilang kesempatan untuk merasakan jedolan si Ujang, kata hatiku yang lain.
Akhirnya, aku membatalkan untuk menyentuh jendolan Ujang, kututup kembali pintu kamarnya dan aku balik menuju kamarku sambil pikiranku terus tertuju pada jendolan itu, aku merusaha memejamkan mataku, tapi yang timbul justru bayangan jendolan milik Ujang yang menari-nari di pelupuk mataku, sampai akhirnya aku terlelap dengan sendirinya. Aku terbangun, kulihat jam yang ada di dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan hampir pukul 18.00, cukup lama juga aku tertidur siang ini. Segera aku menuju ke kamar mandi dan kubersihkan diriku akan tetapi kali ini aku tidak lama-lama berendam dalam bathup, setelah selai semuanya aku segera keluar kamar dan kudengar suara TV di ruang tengah, ternyata si Ujang sedang nonton TV sambil duduk di lantai kayu.
"Hallo Jang.""Eh, Mas Adi, baru bangun tidur yaa?"
"Iya nih, capek sekali."
"Mas Adi tidurnya nyenyak sekali sampai menjelang magrib baru bangun."
"Hmm."
"Ayo makan malamnya dimakan, Mas Adi!" lanjut Ujang.
"Ok, tapi kamu temani aku makan yaa," kataku.
"Nggak, mau Mas, Ujang sungkan sama Mas Adi."
"Aku nggak apa-apa kok, kamu jangan anggap aku juragan kamu, tapi anggap aku sebagai teman atau kakak kamu, gimana? oke?"
"Baiklah, Mas."
Dengan ragu-ragu Ujang menyeret kursi di meja makan itu sampai.. "Ayolah, Jang nggak usah takut dan nggak usah sungkan segala." Akhirnya malam itu Ujang mau makan semeja denganku walaupun masih ada perasaan sungkan, hal ini kurasakan ketika makan Ujang selalu tertunduk dan tidak banyak berbicara. Aku masih bisa memaklumi karena oomku tidak pernah memperlakukan Ujang seperti ini.
Setelah makan malam selesai, Ujang segera membereskan semua piring kotor untuk dibawa ke dapur dan sekalian mencucinya. Setelah semuanya dibereskan, kemudian Ujang mengunci pintu belakang yang menuju halamam belakang, menutup tirai-tirai yang ada disetiap jendela kemudian dia mengambil tempat lagi di depan TV dengan duduk di lantai.
"Mas Adi nggak pengin jalan-jalan lihat pemandangan Puncak di waktu malam," tanya Ujang.
"Nggak ahh, lagi males, dingin lagi karena masih belum beradaptasi, dan lagi aku merasakan pegal-pegal di seluruh tubuhku," jelasku.
"Mas Adi, mau kalau Ujang pijitin," katanya lagi.
Tanpa dikomado untuk yang kedua kalinya segera kuiyakan saja tawaran Ujang ini.
"Emangnya kamu pinter mijit," basa-basiku.
"Yaa, hanya sekedar mijit aja, tapi nggak seahli tukang pijit," sambungnya lagi.
"Okelah kalau gitu, kamu kunci semua pintu dan aku tunggu di dalam kamar yaa," pintaku.
Ujang segera bangkit dari duduknya, menuju pintu depan dan menguncinya serta mematikan lampu yang ada di ruang tamu, kemudian kudengar Ujang mematikan TV yang ada di ruang tengah. Pada saat yang bersamaan aku segera melepaskan semua pakaianku dan yang tinggal hanya CD-ku yang berwarna kuning gading. Sambil telungkup aku menunggu Ujang masuk ke kamarku, hatiku berdebar-debar sehingga memicu jantungku berdetak lebih cepat lagi yang membuat badanku terasa panas. Kudengar langkah kaki Ujang menuju ke kamarku dan membuka pintu kamarku.
"Permisi yaa Mas Adi."Sambil kurasakan tangannya menyentuh punggungku.
"Eh, badan Mas Adi kok panas, Mas Adi sakit yaa," katanya lagi.
"Ah nggak kok, mungkin perasaanmu saja," balasku.
Kemudian, kurasakan tangannya mulia menari-nari di punggungku, leherku, tangan dan jariku, kemudian mulai memijit kakiku dari ujung jari menuju ke atas dan terus ke pahaku, karena aku diperlakukan seperti itu yang membuat batang kemaluanku berdiri tegang penuh, kuharapkan Ujang tidak mengetahuinya. Kemudian Ujang memijit pinggulku yang makin membuat aku blingsatan karena rabaan tangannya dibokongku yang membuat batang kemaluanku makin berdenyut-denyut. Untung saja lampu dalam kamarku hanya diterangi lampu lima watt saja sehingga suasanya hanya remang-remang saja. Setelah Ujang selesai dengan bagian belakang tubuhku, maka dia memintaku untuk telentang dan aduh gimana nih, padahal kepala batang kemaluanku udah nyembul keluar dari CD-ku yang mini ini, tapi dengan laga cuek akhirnya aku balikkan juga badanku dan tepat di hadapan mata Ujang batang kemaluanku yang berdenyut-denyut itu membuat pemandangan tersendiri bagi Ujang.
Aku ingin tahu apa yang akan diperbuat Ujang terhadap batang kemaluanku yang sudah tegang penuh itu. Ternyata Ujang bisa cuek juga, pikirku dalam hati, karena dia dengan santainya tetap melanjutkan untuk memijat kakiku bagian depan dari ujung kaki sampai ke paha yang makin membuatku tambah tegang penuh, karena aku tak kuat disiksa seperti ini akhirnya kupegang tangan Ujang dan kubimbing ke arah batang kemaluanku yang tegang penuh itu sambil kataku, "Jang, sekalian yang ini kamu pijitin sekali biar enak," kataku.
"Ih, Mas Adi, bisa-bisa aja, nggak mau aah," tolak Ujang.
"Ayo dong, Jang!"
Akhirnya dengan malu-malu dipegangnya juga batang kemaluanku, karena aku merasa tidak bebas karena adanya CD-ku, maka segera kupelorotkan CD-ku sehingga kini aku jadi telanjang bulat di hadapan Ujang yang masih berpakaian lengkap itu. Kurasakan hangatanya kocokan tangan Ujang di batang kemaluanku yang 17 cm itu dibuat mainan oleh Ujang, sampai aku menggelinjang-gelinjang.
"Jang.."
"Ada apa Mas?"
"Aku khan udah telanjang, biar adil kamu juga harus telanjang juga," pintaku.
"Ih, Ujang malu Mas" katanya."Nggak apa-apa, ayo cepet buka bajumu semuanya."
Dengan ragu-ragu Ujang mulai membuka kancing bajunya satu persatu dan aku segera mengarahkan tanganku ke arah jendolannya yang siang tadi sudah menggoda aku dan kurasakan batang kemaluannya juga tegang, besar, kenyal dan panjang. Segera kubantu untuk memelorot celana pendek gombornya itu, kemudian kupelorot CD-nya dan kulihat sebuah batang kemaluan yang berdiri tegak mengacung panjang sampai menyentuh pusarnya, kurang lebih hampir 21 cm dan berwarna hitam dengan kepala kemerah-merahan, lebih besar dan lebih panjang daripada batang kemaluanku. Setelah beberapa saat aku mengagumi batang kemaluan Ujang, segera kuraih dan kukocok dan ternyata dia diam saja, kutelentangkan Ujang di atas tempat tidur dan mulai aku mencumbuinya mulai dari cuping telinganya, lehernya kemudian turun lagi ke arah putingnya dan kudengar rintihan-rintihan dan desisan yang keluar dari mulut Ujang.
Kemudian kuarahkan kecupanku ke arah pusarnya dimana kepala batang kemaluannya tepat berada kukecup kepala batang kemaluannya yang meradang dan mekar membesar itu, kujilati daerah V-nya dan kudengarlenguhan Ujang makin keras kemudian kepala batang kemaluannya kumasukkan dalam mulutku dan mulai kuhisap dan kumasuk-keluarkan dalam mulutku dan kurasakan ketegangan pada batang kemaluannya makin memuncak dan kurasakan semburan cairan hangat mengenai langit-langit mulutku dan kurasakan cairan asin, manis dan amis memenuhi rongga mulutku dan kutelan habis semuanya.
Lalu kudengar, "Aaahh, aaduuhh Mas Adi, aakuu diapain saja nih, kook eenaak beeneerr."
"Ooohh, aauucchh.."
"Aaayoo, Mass, Ujang mau lagi, Mass.."
Bersambung . . . .