Namaku Robert Budiman, umur 18 tahun, kelas 3 SMU. Keluarga kami termasuk keluarga kecil, yang penghuninya laki-laki semua, dikepalai oleh kakekku, Rudi Budiman. Tahun ini Kakek akan berumur tepat 55 tahun. Umurnya memang hampir senja, tapi penampilannya sangat jauh dari kesan tua. Malah, penampilannya masih macho dan keren.
Kakek dulu bekas tentara, maka dia selalu membiasakan diri berolahraga. Dia selalu dalam keadaan bugar dan kekencangan otot tubuhnya terjaga. Rambut ubannya yang hampir menutupi seluruh kepalanya malah memberi kesan seksi. Keriput di wajahnya kurang terlihat, sehingga penampilannya mirip pria berusia 40-an. Kakek hanya menikah sekali saja dan mendapatkan 2 orang putra yang tampan-tampan.
Lima tahun setelah pernikahannya, dia menceraikan istrinya dan tak pernah melirik wanita lain. Nasib kedua anaknya, ayahku dan pamanku, tak jauh berbeda. Pamanku, Albert (36 tahun), anak sulungnya, selalu gagal dalam percintaan dan menolak untuk menikah. Sementara ayahku, anak bungsunya, Irwan (34 tahun), berhasil menikah tapi tak bertahan lama. Ibuku memang wanita yang tidak baik, saya lega dia pergi meninggalkan kami.
Kata ayahku, namaku diambil dari nama aktor idolanya: Robert Redford. Dalam sebuah rumah yang tak mewah, tapi juga tak kumuh, kami berempat hidup bersama. Dulu, saya mengira keluargaku adalah keluarga yang 'normal'. Tapi pada suatu malam, saya mengetahui hal yang sebenarnya. Kini saya tak heran lagi kenapa Ayah, Paman, dan Kakek tak pernah menjalin hubungan lagi dengan wanita. Ternyata mereka semua pria HOMOSEKSUAL!
Malam itu Ayah mendatangi kamarku. Saya pada saat itu sedang bersiap-siap untuk tidur, hanya mengenakan celana dalam putih. Ayahku sendiri hanya melilitkan handuk di pinggangnya.
"Robert, kamu sudah cukup umur sekarang. Sudah saatnya kamu ikut acara keluarga kita," kata ayahku, berdiri di ambang pintu sambil memandangi tubuhku yang seksi itu.
Meski baru 18 tahun, saya menjaga tubuhku dengan baik sekali. Apalagi saya juga bergabung dalam berbagai tim olahraga di sekolahku, maka tak heran jika badanku atletis sekali. Diam-diam, kontol Ayah mulai ngaceng.
Tiba-tiba, Kakek dan Paman menyeruak masuk. Mereka pun hanya mempunyai handuk untuk menyembunyikan kontol mereka. Saya memang sering melihat Ayah, Paman, dan Kakek bertelanjang dada. Dan menurutku, mereka memang bertubuh indah. Sebelumnya, saya tak pernah menyangka bahwa saya akan terangsang dengan sesama jenis, sebab di sekolahku saya terkenal sebagai playboy yang sering mengejar para cewek. Tapi mulai detik itu, hidupku akan berubah. Dalam sekejap, saya sudah dikelilingi keluargaku.
Mereka semua naik ke atas ranjang dengan tatapan penuh nafsu. Kontol mereka yang ngaceng tercetak di balik handuk mereka. Paman nampak sudah tak dapat lagi membendung hasrat homoseksualnya. Paman sudah mulai meraba-raba punggung dan bahu saya. Diraba seperti itu, saya mulai takut.
"Jangan takut, anakku," sahut Ayah.
"Kami takkan menyakitimu. Kamu harus patuh pada kami karena kami mencintaimu.."
Ayah lalu melepas handuknya. Begitu handuk itu jatuh ke lantai, saya untuk pertama kalinya melihat betapa panjangnya kontol ayahku itu. Kontol itu bersunat dan berkedut-kedut. Hal pertama yang terpikir oleh saya adalah bahwa ayahku akan memperkosaku secara homoseksual. Secara refleks, saya ingin menghindarkan diri, tapi Paman dan Kakek memegangi tubuhku kuat-kuat. Dengan panik, saya mulai meronta-ronta. Namun saya tak sanggup mengalahkan Paman dan Kakek.
"Paman.. Kakek.. Lepaskan saya. Mau apa kalian?" saya mulai menggigil ketakutan saat ayahku yang telanjang bulat menempelkan tubuhnya dengan tubuh saya. Kontol ayahku yang ngaceng sesekali terbentur dengan kontol saya yang masih tidur.
"Jangan takut, Robert. Kamu sudah dewasa sekarang, sudah cukup umur untuk bergabung dengan tradisi keluarga kita," jelas Ayah sambil menggosok-gosokkan kontolnya yang ngaceng ke pahaku. Sementara itu, bibirnya menjelajahi dadaku yang agak bidang dan berotot itu.
Adalah bohong jika saya tidak merasakan kenikmatan saat ayahku berusaha untuk menggauliku. Sekujur tubuhku bergetar karena nikmat dan sekaligus karena takut. Saya bingung kenapa saya menyukai apa yang sedang dilakukan ayahku terhadapku. Saya mulai bertanya-tanya tentang seksualitas diriku. Pelan tapi pasti, kontolku mulai berdiri dan ngaceng. Tapi meski demikian, moral tetaplah moral. Seorang ayah tak pantas menghomoi putranya. Dan saya tak ingin dipermalukan seperti itu. Dengan memelas, kumohon agar ayahku melepaskan diriku.
"Ayah.. Jangan, Yah. Kumohon, Yah, sadarlah.. Ini salah.. Aahh.." saya mendesah saat kontol Ayah kembali menyapu pahanya.
"Ayah.."
Namun Ayah tentu saja tak mengindahkan permohonan anak semata wayangnya itu. Dia bertekad untuk menghomoiku; sudah lama dia menginginkan untuk mencicipi tubuh putranya yang indah itu. Kenangan saat pertamanya dihomoi kembali mengisi pikirannya. Saat Ayah berumur 17 tahun, dia dihomoi oleh Kakek dan Paman. Dia ingin agar saya juga merasakan saat-saat indah itu.
"Ayah sudah lama ingin berhomoan denganmu, Robert," Ayah berbisik sambil menjilati daun telingaku. Tangannya meraba-raba dadaku, merasakan jantungku yang berdetak keras.
"Tenang, anakku. Ayah janji, kamu akan sangat menikmatinya. Percayalah.."
Ayah membelai-belai rambutku dan menciumi bibirku. Saya kaget dan berusaha untuk mengelak, tapi Paman memegangi kepalaku sehingga saya terpaksa menerima ciuman ayahku yang bejat itu. Saya berusaha menutup bibirku rapat-rapat tapi lidah ayahku memaksa masuk.
"Mmpphh!! Mmpphh!! Mmpphh!!" Mendadak Kakek mencubit kedua putingku dari belakang. Tak ayal lagi, saya pun menjerit kesakitan.
"Aarrgghh!!" Kesempatan emas itu langsung dipergunakan Ayah dengan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku yang terbuka lebar.
Seperti orang yang kerasukan setan seks, Ayah dengan bernafsu memaksakan ciuman itu padaku. Saya panik tapi tak bisa mengelak. Dengan jijik, saya terpaksa menerima jilatan lidah ayahku dan merasakan air liur kami bercampur.
Kakek dan Paman tak mau ketinggalan. Bibir mereka menjelajahi tubuhku; tangan mereka tetap memegangi badanku agar saya tidak kabur. Desahan napas mereka menderu-deru di telinga saya. Jilatan lidah mereka yang basah dan hangat menodai tubuhku. Tangan-tangan mereka sibuk meremas, mencubit, meraba setiap jengkal tubuhku yang macho itu. Saya sadar bahwa saya hanya bisa pasrah. Tiba-tiba, saya merasa celana dalamku diperosotkan oleh pamanku. Kontan saja, kontol saya yang sudah ngaceng terlompat keluar. Mereka hanya bisa berdecak kagum, menyaksikan ukuran kontolku.
"Panjang juga kontol loe," komentar Paman.
Dengan nafsu, Paman mengocok-ngocok kontolku. Kontol itu terasa hangat dan berdenyut di tangannya. Air liur Paman hampir menetes keluar, ingin sekali menghisap kontolku.
"Gue hisepin yach, Rob.." Tanpa menunggu persetujuanku, Paman langsung memasukkan kontol itu ke dalam mulutnya.
"Mm.." Nampaknya Paman belum pernah menghisap kontol seenak kontolku. Ekspresi kenikmatan jelas tergambar di wajahnya yang tampan. Berbekal pengalaman menyepong kontol Kakek dan Ayah, Paman langsung memberikan servis hebat pada kontolku. SLURP! SLURP!
Saya terhenyak saat merasakan sensasi nikmat pada kontolku. Hangat dan basah. Lidah Paman menyapu-nyapu dan membelai-belai kepala kontolku. Tenaga hisapan mulut Paman juga luar biasa. Saya sampai mengerang-ngerang keenakkan. Tapi suaraku tertahan di dalam karena ayahku masih saja menciumi bibirku.
"Mmpphh.. Mmpphh.." Saya kini tak melawan lagi. Kuputuskan untuk mencoba berhomoseks. Dan ternyata, sejauh ini, homoseks itu menyenangkan. Saya kemudian mencoba untuk menciumi ayahku. Lidahku bergulat dengan lidahnya, sementara air liur kami berbaur. Kakek hanya tersenyum mesum melihat kejadian itu.
"Mmpphh.. Mmpphh.." Birahiku makin berkobar saat tangan Ayah meraba-raba dada bidangku. Sesekali putingku dimain-mainkan, membuatku kehabisan napas. Hisapan pamanku juga menambah sensasi nikmatku. Oohh.. Nikmatnya berhomoseks dengan keluarga sendiri. Ayahku kemudian melepaskan ciumannya, dan langsung digantikan oleh Kakek.
Dengan bernafsu, Kakek memeluk tubuhku sambil berkata, "Kakek sudah merindukan saat-saat ini, Robert. Akhirnya, Kakek bisa berhomoan sama kamu."
Melihat tubuh kakekku yang masih atletis itu, saya terangsang sekali. Tiba-tiba pantatku diremas-remas oleh Kakek.
"Kamu masih perjaka. Tapi setelah malam ini, kamu akan kehilangannya. Dan percayalah, kamu akan ketagihan."
Saya hampir terpekik kaget saat jari-jari Kakek tiba-tiba menusuk-nusuk lubang anusku. Rasanya agak sakit, tapi juga nikmat.
"Oh, sempit sekali lubangmu, Rob. Kakek pasti akan menikmatinya," bisik Kakek di telingaku.
Bibir Kakek lalu melekat pada bibirku. Ciumannya maut sekali. Baik bibir maupun lidahnya, kedua mampu membangkitkan birahiku. Bibirku disedot-sedot dan lidahku dijilat-jilat. Darimana Kakek mendapatkan ilmu berciuman sedahsyat itu?
"Aahh.. Oohh.. Hhoohh..", desah Kakek sesekali.
Bersambung . . . .