Nafsu Birahi Seorang Gay, Jumat malam, waktu yang ditunggu-tunggu oleh hampir semua orang kantor. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu ingin segera berakhir minggu dengan keluarganya, tapi bagi yang single sepertiku? Sudah lama tidak ada lagi yang ‘apel’ di rumah sejak pacarku (atau teman kencan?) pindah keluar kota beberapa minggu yang lalu. Sayang juga, padahal kami selalu saja melakukan hal-hal seru. Seperti biasa, aku yang paling terakhir meninggalkan ruang kantor. Semua rekan berpamitan pulang dengan wajah berseri-seri, ada yang dijemput pacar, ada yang dijemput suami/istri dengan anak-anak, bahagia sekali tampaknya. Aku merasa konyol, karena dengan bentuk dan paras seperti aku, yang lumayan cantik (kata orang), dan kurus tinggi seperti yang diinginkan banyak wanita lain, sebenarnya mudah sekali untuk mendapatkan teman kencan. Tapi aku tidak tahu kenapa aku menolak banyak ajakan rekan pria untuk kencan. Aku mulai merasa, apakah masa avonturir-ku telah berakhir? apakah masa pengembaraanku di dunia ‘bebas’ telah usai? Tapi beberapa saat setelah itu, aku sadar ternyata prediksiku itu salah.


Aku terdiam lama di dalam Katana hijauku di tempat parkir. Waktu masih menunjukkan pukul enam sore, terlalu dini untuk balik ke apartemenku di gedung **** (edited). Tapi kalau mau pergi jalan-jalan, juga terlalu sore. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi rumah seorang kawan dekatku, Ira. Dia mantan kakak kelasku, usianya 28 tahun, lebih tua 3 tahun dariku. Hidup sendiri cukup lama karena tidak juga menemukan pasangan yang tepat, maklumlah, potongan dan gayanya terlalu tomboy. Bicaranya pun kasar ceplas-ceplos, meski sebenarnya dia seorang yang berhati emas.


Tak lama kemudian, Katana hijauku berhenti di depan rumah Ira. Rumah mungil yang berwarna ungu dan berbentuk asimetris di sana sini, khas rumah seorang arsitek. Kutekan bel pintu, dan muncullah temanku itu, masih mengenakan kaos overall longgar, dengan rambut acak-acakan yang poninya dijepit ke atas.

“Sari! Tumben main ke sini pas weekend! Nggak ada yang ngapelin yah?”

“Ah, tidak kok Mbak, emang lagi sendirian nih, sejak ditinggal Ditto.”

“Lho, memangnya pasaran turun? Biasanya kan cepet banget nemu gantinya?”

“Enak aja, aku cuman lagi kehilangan adventure touch-ku, Mbak!”

“Hihihi, ah ayolah masuk! Tapi sorry ya, aku masih lagi ngerjain gambar.”

Aku pun mengikutinya masuk ke rumahnya yang funky itu. Ruang tamunya berdinding oranye, dengan kursi tamu dari ban bekas yang dicat warna warni. Kertas-kertas gulungan berserak di sana-sini. Benar-benar seniman tulen, pikirku.


Aku mengamati Ira yang berdiri di depan meja gambarnya yang tampak rumit, sambil mengamatinya lagi. Sebagai seorang berdarah campuran Belanda-Menado, Ira sangat cantik dan memiliki tubuh yang ideal. Memang tidak setinggi aku, namun ia sangat langsing dan menarik, lekuk pinggangnya begitu indah, pantat dan dadanya juga tidak berukuran terlalu besar dan menggantung, tapi padat dan kencang. Rambutnya panjang sebahu, kulitnya putih bersih, alisnya tebal, matanya pun indah sekali, hidung dan dagunya lancip-lancip.

“Nggambar apaan sih Mbak?”

“Oh, ini project dari PT **** (edited).”

“Wah, duit besar nih, rupanya?”

“Tidak kok, cuman bantuin teman aja.”

“Aku mengganggu kerjaan Mbak Ira, ya?”

“Nggak kok, Sar, deadlinenya masih lama, cuman aku aja yang pengen cepat selesai, biar cepet dapet duit, hihihi.”

“Haha.. memang itu yang mesti dikejar Mbak, biar hidup tenang.”

“Ah, gimana mau tenang, Sari? Rasa-rasanya boseen deh hidup sendirian.”

“Yah, kenapa Mbak Ira tidak kawin aja?”

“Hahahaha.. kawin?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Belum laku sih, Sar!”

“Mana mungkin? Mbak Ira cantik gitu, masa nggak ada yang naksir?”

“Ah jangan puji-puji gitu dong, bisa ge-er nanti aku!” jawaban Ira yang terakhir itu dilakukannya sambil melirik padaku.


Lirikan itu terasa aneh, agak-agak.. gimana gitu. Aku sih, tadinya tidak merasa apa-apa, tapi aku bingung juga, apa maksudnya. Lalu dia bertanya lagi,

“Kamu sendiri gimana, Sar? Masih avonturir terus?”

“Yah.. seperti yang Mbak tahu lah.”

“Ati-ati lho, Sar, jaman sekarang kan udah ngga sehat gaya hidup gitu.”

“Ah, kan yang aku pilih itu sudah lewat seleksi semua, Mbak!”

“Iya sih, tapi ati-ati ajalah, siapa tahu ada yang kurang baik.”

“Justru itulah, avonturirku ini kan bertujuan untuk menemukan yang terbaik!”

“Hahaha, ada-ada aja kamu, Sar. Omong-omong, ceritain dong tentang petualanganmu, siapa tahu aku jadi dapat hikmahnya!”

“Eits, masa aku harus cerita sampai sedetail-detailnya?”

“Hahaha, boleh aja, siapa tahu bisa menghangatkan suasana?”


Sampai kemudian ponsel Ira berbunyi. Kami lalu berhenti berbicara dan ia berbicara cukup panjang di ponsel, dengan bahasa Belanda yang aku tidak mengerti. Setelah minum segelas air es, kami duduk di sofa ruang tengahnya yang nyaman. Rumah itu mungil namun benar-benar tertata. Ruang tengah itu memiliki satu sisi dinding kaca, menghadap ke halaman belakang yang tidak luas, namun indah sekali dengan tanaman bunga-bunga dan kolam ikan. “Kamu tidak gerah pakai baju kerja gitu, Sar? Copot blazernya laah!” Aku pun melepaskan blazer biru muda yang kukenakan. Di balik blazer itu aku mengenakan kaos ketat pendek berwarna putih. Ketat sekali hingga kedua payudaraku tercetak dengan indah dan sempurna, sementara kaos itu juga amat pendek, hingga perutku yang halus dan langsing bisa mengintip keluar. Dari tadi Ira menatap tubuhku.

“Badan kamu bagus sekali, Sar. Fitness terus yah?

“Nggak kok Mbak, cuman berenang aja seminggu dua kali.”

“Wah.. seharusnya otot-otot kamu keras dong?” kata Ira sambil memegang-megang lenganku.

Tapi pegangan-pegangan itu terus berubah menjadi remasan-remasan lembut, yang pelan-pelan bergerak ke pundakku.

“Hmm.. Bagus sekali badan kamu, Sari.. aku pengen punya badan seperti ini. Boleh nggak aku melihat sampai ke dalam-dalamnya?”

“Ahh.. Mbak Ira, emangnya badanku beda dengan badan Mbak?”

“Ya beda dong, Sar.. Badanku biasa aja, tidak sekencang badanmu, mau lihat?”


Sambil mengakhiri kata-katanya, Ira tiba-tiba menarik ujung kaosnya dari bawah, mengangkatnya ke atas, lalu terlepaslah kaos oversize-nya dari badan. Aku melihat tubuh Ira yang tak mengenakan apa-apa selain celana dalam hitam. Kulit tubuh yang kuning langsat, halus mulus, pinggang yang ramping, pinggul yang kencang, leher yang jenjang dan halus, dan.. payudaranya sungguh indah, jauh lebih indah daripada payudaraku sendiri yang aku bangga-banggakan. Bentuknya bulat, kencang dan padat, putingnya berwarna kemerahan, dan tampak mencuat agak tinggi di tengah lingkaran yang juga kemerahan.

“Eh.. Mbak.. kok gitu sih?”

“Kenapa, Sar? Jelek kan badanku? Susuku aja tidak sekencang dan sebagus susu kamu..” katanya sambil tangannya meremas buah dadanya.

“Tapi bagian ini sensitif sekali..” katanya sambil jemarinya mengusap kedua putingnya, menarik dan memilin-milin.

Matanya setengah terpejam menatapku, dagunya agak terangkat, ekspresinya tampak sedang menghayati rasa geli yang dibuatnya sendiri, sambil mengeluarkan desahan lirih, “Mmm.. mm..” Aku pun bisa membayangkan rasanya bila puting susuku diperlakukan seperti itu, aku pun sudah pasti menggelinjang kegelian.


Diam-diam aku terangsang juga membayangkan kalau puting susuku diplintir-plintir begitu oleh jemari seorang pria. Ira berhenti memainkan putingnya, dapat kulihat kini betapa kedua puting susu yang kemerahan itu kini menjadi semakin merah dan tampak tegang sekali seperti penghapus pensil. Melihat dari bentuknya, tampaknya kedua puting Ira sudah tak asing lagi dengan hisapan, jilatan, atau perlakuan-perlakuan semacamnya. Aku pun secara iseng bertanya, “Mbak Ira sudah pengalaman gitu, lho!”

“Ahh, kamu lebih berpengalaman lagi dong, Sar!”

“Maksudku.. kenapa Mbak tidak pergi kencan di malam minggu begini?”

“Nggaklah, Sar. Malam minggu gini, teman kencanku diapelin orang lain.”

“Diapelin? emangnya..?”

“Iya, dia diapelin oleh pacarnya. Hari lain sih, kami bebas aja.”

“Emangnya.. siapa sih teman kencan Mbak?”

“Kamu tahu si Renny kan? Yang psikolog itu?”

“Renny?”


Aku agak terkejut ketika mendapati bahwa sahabatku itu ternyata bercinta dengan sesama jenis, padahal keduanya tampak normal saja, tidak ada yang terlihat tomboy atau kelelaki-lakian. Bahkan Renny yang diceritakannya itu sangat feminin dan dikenal sebagai wanita karier yang sukses dan disegani di kota kami.

“Kenapa Sar? Jadi selama ini kamu belum tahu?”

“Sejujurnya sih.. belum.”

“Hihihi, kamu terbebas dari gossip rupanya, eh? Dasar yuppies!”

“Eh.. Bener lho, aku tidak mengira sama sekali, Mbak.”

“Hahaha, eh, Sar.. pernah nggak kamu membayangkan melakukannya dengan sesama wanita?”

“Hmm.. tidak tahu yah? Aku belum pernah membayangkan, atau terpikir ke arah sana sih..”

“Tahu tidak, Sar? Sesama wanita itu lebih nyaman. Tidak egois, penuh penghayatan dan emosi! tidak promosi lhoo!”

“Hmm.. aku bisa bayangkan bahwa seorang wanita mungkin lebih tahu cara memperlakukan badan wanita daripada pria.”

“Jelas dong, kalau pria, mereka memperlakukanmu seperti permen karet!”

“Permen karet?”

“Iya, menelanjangimu, membawamu ketempat gelap, lalu menikmatimu sehabis-habisnya, sampai mereka tidak merasa nikmat lagi, lalu kamu dibuang begitu saja.”

“Oh?”

“Iya, belum lagi, kadang-kadang mereka suka meniup permen karet jadi menggelembung gendut!”

“Hahaha..”

Kami tertawa-tawa lagi. Tapi sedikit banyak aku mulai membayangkan gambaran Ira tadi, bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang tubuh wanita selain wanita sendiri.


Aku dari tadi bersandar di dinding kaca sambil bercakap-cakap dengan Ira, pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal yang membangkitkan birahi, meski masih juga diselingi canda ria. Namun kini aku menyadari kalau Ira mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, dekat sekali. Lalu pelan-pelan tangannya menghampiriku dan menyentuh perutku yang mengintip dari balik kaos pendekku. Entah kenapa, aku tidak melawan ketika wajah Ira mendekati wajahku, lalu mulutnya mendarat di bibirku, mengisap dan membasahinya dengan lidahnya. Aku merasakan kehangatan yang berbeda dengan yang sudah pernah kurasakan dari belasan pria. Sangat berbeda. Bibir wanita ini terasa lembut, lembab, dan membuat bibirku terasa geli dan enak. Aku mulai merasakan tangan Ira yang dari tadi hanya bermain di perutku mulai menyingsingkan kaosku ke atas, dan kini kehangatan tangannya merambati pinggang dan punggungku, aku merasakan hangat yang lain dari yang lain. Ira memejamkan matanya dan mulai menggerakkan tangannya pelan-pelan ke atas. Mengusap perlahan-lahan pinggangku, lalu kurasakan kehangatan telapak tangannya yang halus meraba ke atas ke punggungku, aku sedikit berjingkat ketika kehangatan itu tiba di tengkukku yang sangat sensitif, aku mengangkat bahuku kegelian, tanpa sadar aku mengerang, “Ngghh..” Lalu bibirnya meninggalkan bibirku, merambati rahangku sambil meniupkan nafas halus yang membuat pertahananku semakin melemah.


Aku memiringkan kepalaku ke kiri ketika bibir dan lidahnya yang lembut dan lembab serasa membelai leher dan telinga kananku, Ohh.. geli sekali rasanya, namun aku tak ingin menghindar. Lidahnya bermain di telinga kananku, membuat rintihan memelasku terdengar lagi. Di sela jilatannya, kudengar Ira berbisik, “Sar, kulepas kaos kamu, ya?” Aku hanya mengangguk lemah dan mengangkat kedua tanganku ke atas agar ia dapat meloloskan kaosku dengan mudah, dan ia melakukannya. Kaosku belum juga terlepas dari tanganku, dan masih menutup wajahku ketika kurasakan hangat bibirnya tiba-tiba menciumi belahan dadaku yang halus. Di tengah kegelian aku akhirnya mampu meloloskan kaosku dan melemparnya jauh-jauh. Tangan Ira memeluk tubuhku erat-erat hingga aku dapat merasakan kehangatan dan kelembutan kulit tubuhnya bersentuhan menempel erat pada perut dan dadaku. Kehangatan yang serasa menyelimuti dan menaungi tubuhku, memberiku rasa lemas yang tak terperi.

Jemarinya bergerak melepaskan kaitan bra sport di punggungku. Lalu penutup dadaku itu terlepas dan terlempar jauh menyusul kaosku tadi. Ira melepaskan tubuhku yang kini tersandar lemah di dinding kaca yang dingin. Matanya menatap tubuhku yang bagian atasnya telah terbuka. “Sari.. kamu indah sekali..” Aku hanya diam menatapnya dengan sayu. Aku mencoba tersenyum dan menegakkan berdiriku. Ira memegang pinggangku dan menyuruhku berbalik menghadap ke dinding kaca. Karena di halaman lebih gelap daripada di dalam ruangan, aku dapat melihat bayangan tubuhku. Semampai dan ramping. Aku juga melihat bayangan Ira di kaca itu, telanjang dada. Ia berlutut di belakangku, memeluk paha kananku dan menyingkapkan sedikit rok miniku ke atas. Aku terus melihatnya mengagumi dan mengusap-usap tungkai jenjangku yang senantiasa kurawat dengan baik. Diusapnya, dibelainya dengan penuh perasaan. Uh, rasanya geli sekali ketika Ira menjalankan lidahnya di paha sebelah dalamku. Kegelian yang tak tertahankan menyerangku ketika Ira memainkan jari-jari lentiknya pada celana dalamku, menggosok dan mengusap kewanitaanku yang masih terbungkus celana dalam.


Aku menggeliat dan menggelinjang, kakiku terasa sulit menahan berat tubuhku, hingga aku harus tersandar pada dinding kaca lagi. “Ohh.. Mmmbak Iraa..” Rintihku menahan geli dan birahi. Ia segera melepaskan jarinya dari celana dalamku yang kini mulai sedikit lembab. Tangannya mengurut-ngurut betisku, pahaku, dan pinggulku. Lalu ia kembali berdiri dan membalikkan tubuhku kembali menghadapnya. Kami saling pandang sebentar sebelum ia memegang kedua pergelangan tanganku dan menariknya serta memeganginya menempel dinding kaca. Aku terdiam. Kedua tanganku terentang ke samping dan dipeganginya. Kedua payudaraku terpampang membusung ke hadapan Ira, bersentuhan dengan kedua pangkal payudaranya yang juga ramping, kencang dan indah. Ia mendekatkan bibirnya ke dadaku, dan aku dapat melihatnya menjilat-jilat bongkah payudaraku, dibasahinya dengan lidahnya hingga akhirnya mulutnya yang mungil menangkap pentil susuku yang kiri.


“Ahkk.. Mbak Iraa..” Ia menjilat-jilat kecil, menghisap lembut, dan menggigit-gigit kecil pada pentilku bergantian yang kiri dan kanan. Membuatku meringis menahan geli yang luar biasa. Gempuran rasa geli dan birahi yang amat sangat. Aku tak mampu lagi terdiam, nafasku serasa tersengal-sengal, aku tak mampu menggerakkan kedua tanganku yang dicengkeramnya erat-erat di dinding kaca. Di sela perbuatannya, ia bertanya,

“Gimana rasanya Sari sayang?”

“Ngg.. Mmbak.. ggelii sekali.. mmhh..”

“Merintihlah, Sayang, mengeranglah, aku pengen dengar suara kamu.”

Lalu Ira semakin liar menjilat dan melumat-lumat puting-puting susuku yang kini telah memerah dan mengacung tinggi. Aku merasa lemas dan sulit bernafas karena serbuan birahi yang sudah tak mampu lagi aku tahan-tahan.

“Merintihlah, Sari..”

“Aduhh.. Mmbaakk.. offhh..”

“Gimana rasanya, sayang?”

Ia meracau terus menyuruhku merintihkan kegelianku sambil terus saja menjilat, melumat, dan mengulum-ngulum kedua putingku yang semakin terasa geli dan sedikit ngilu karena sudah begitu tegang namun terus dilumatnya. “Ohh.. enaakk sekali Mbakk..”


Tangannya kini melepaskan tanganku, dan kembali menyerang celana dalamku di balik rok miniku yang telah tersingkap ke atas. Disibakkannya celana dalamku ke samping, lalu jemari lentiknya pun dengan bebasnya mengusap dan menggosok kewanitaanku. “Agghh.. Mmmbakk.. Aaaku nggak tahann..” Aku mengerang dan menggeliat tak karuan merasakan kewanitaanku diucek-uceknya hingga terdengar suara seperti berkecipak air. Cairan pelumas telah berleleran cukup banyak dari situ, membasahi celana dalamku, membasahi rambut-rambut kemaluanku. Tak mampu lagi berdiri, aku rebah ke lantai ruang tengah itu. Terlentang menyerahkan tubuhku. Ira segera melucuti semuanya. Hingga tubuhku kini tak lagi tertutupi apa-apa. Begitu juga tubuhnya. Ia membaringkan tubuhnya di sampingku, memelukku erat, dinginnya lantai terasa kontras dengan kehangatan tubuhnya. Wajahnya tampak bersemu merah menahan birahi yang dari tadi ingin dilampiaskannya padaku. Dikulumnya bibirku, dijilatinya leherku. Paha kami saling berkempitan, hingga aku dapat merasakan kelembaban dan basahnya kewanitaan Ira pada pahaku.


Sementara aku kian tak mampu menahan rasa geli yang luar biasa karena pahanya sedang menggosok bibir-bibir kewanitaanku.

“Sar, gerakkan paha kamu, yang.. berikan padaku.”

“Ohh.. Mbak.. Mbak Ira cantik sekali..”

“Kamu juga Sari, uhh..”

Paha kami saling menggosok kewanitaan masing-masing, rasanya sangat nikmat. Perasaanku tak karuan lagi, antara rasa nikmat, geli, dan kagum pada keindahan tubuh Ira yang kini menghimpit tubuhku dengan hangatnya. Gerakan kami kian liar, meski posisi itu melelahkan, namun kami tak peduli. Makin cepat kugesekkan pahaku pada kewanitaannya, makin keras pula kurasakan getaran pahanya pada kewanitaanku. Sedikit sakit dan ngilu, namun birahi kami mengalahkan segala rasa sakit.


Dengan gemas ia meremas susuku dengan kencang namun lembut, makin membuatku melayang-layang lupa daratan. Kujilati lehernya yang jenjang sempurna, kugigit. Ia juga melakukan hal yang sama pada pundak dan leherku, jari-jarinya menarik dan memilin-milin pentil susu kananku sementara payudara kiriku berhimpitan dengan payudaranya.

“Ohh.. Ssarii.. aaku hampirr..”

“Aduuh, Mmbakk.. aku juga..”

Kami bergerak semakin cepat, pelukan kami semakin erat. Mataku terpejam, aku seperti mendengar rintihan dan erangan kami memenuhi ruangan, begitu pula aroma kewanitaan kami. Keringat dingin membasahi tubuh telanjang kami, paha kami terus menggesek kewanitaan kami, kenikmatan terasa bergulung-gulung mendekati tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi, namun tiba-tiba tubuh Ira meregang dahsyat, ia mencengkeram tubuhku erat-erat, gerakannya terhenti. “Sarii.. Aaahhgg..” Gelombang orgasme telah melanda jiwanya, wajahnya tampak sayu dan meringis menahan kenikmatan yang luar biasa, ekspresinya itu memberikan sensasi yang luar biasa padaku, aku seperti teraliri listrik lain, menyengat seluruh tubuhku, aku merasakan otot-otot kemaluanku menegang, tubuhku meregang disengatnya.


Kenikmatan menyambar tubuhku, keras sekali merenggut kesadaranku untuk sesaat. “Aduhh.. Mbakk.. Ohh..” Aku memejamkan mata, menghayati perasaan itu. Nikmatnya terasa melambungkan tubuhku, aku tak lagi sadar bahwa aku sedang merengkuh erat tubuh sahabatku, sesama wanita. Semuanya terasa hangat, panas, mataku agak berkunang-kunang, lalu untuk beberapa saat semuanya gelap. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang bermuara dari kewanitaanku, serta hangatnya tubuh indah Ira yang erat memeluk tubuhku.


Beberapa menit kemudian aku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa ngilu dan pegal. Aku terbaring tanpa busana di lantai ruang tengah rumah Ira. Aku mencoba untuk mengangkat kepalaku yang terasa berat, mendudukkan tubuhku. Kakiku terasa kejang dan ngilu. Aku tersandar di dinding kaca. Melihat seluruh ruangan, dan mendapati tubuh Ira, teronggok lunglai di hadapanku. Keindahan tubuh itulah yang baru saja aku hangatkan, dan memberikan kehangatan pada tubuhku. Ira tampak terlelap dalam alam birahinya. Aku mengangkat tubuhku dengan susah payah, kedua tungkai jenjangku mencoba menahan berat tubuhku. Aku melihat bayangan pada dinding kaca. Menatap wajah dan badanku sendiri. Bekas-bekas gigitan berwarna merah kecokelatan tampak pada pundak, leher, dan seputar pentil susuku. Di bawah perutku yang langsing tampak rambut-rambut ikal yang kini seperti keriting karena terkena cairan kenikmatan yang mulai mengering.


Lalu kutatap wajahku sendiri. Ada perasaan yang aneh. Perasaan bersalah, perasaan bingung. Setelah petualangan bertahun-tahun dengan belasan pria. Baru kali ini aku melakukannya dengan sesama wanita. Tadi memang aku merasakan keindahan dan kenikmatan tiada tara. Tapi kini, ada rasa yang aneh. Rasa tidak enak pada diriku. Terlebih lagi, aku melakukannya dengan sahabatku Ira. Yang lebih tua, yang selama ini aku hormati dan hargai.


“Sari..” Rupanya Ira telah tersadar dan melihatku sedang menyesali diri di hadapan kaca. Ia masih terbaring telentang dengan indahnya di tempatnya. Namun ia kini mulai berdiri dengan gontai. Dipeluknya tubuhku dari belakang. Bukan pelukan birahi, bukan pelukan penuh nafsu, namun pelukan seorang kakak.

“Sari, maafin aku, ya?”

“Nggak apa-apa Mbak, Aku cuman merasa bersalah aja.”

“Karena apa? karena itu aku? atau karena itu sesama wanita?”

“Bukan Mbak, tapi karena aku sendiri.”

“Nggak usah kamu sesali, Sari. Kita melakukannya karena menginginkannya. Bukankah itu yang selalu kamu omongin pada semua orang?”


Untuk sesaat aku tersentak mengingat kata-kata yang pernah aku ucapkan sendiri dengan bangga pada semua orang itu.

“Aku sayang kamu, Sari.”

“Ngg.. Aku juga, Mbak. Tapi.. ini berbeda.”

“Iya, aku tahu. Kamu memang bukan sepertiku.”

“Maksud Mbak.. aku benar-benar straight?”

“Yup! Straight as an arrow. Petualanganmu tidak mengubah hatimu. Kamu tetap Sari yang dulu, yang lucu, yang lugu, dan serba ingin tahu.”

Aku mencoba tersenyum mendengar kata-kata Ira. Mungkin ia benar. Mungkin sudah waktunya petualangan ini diarahkan untuk mencari yang tepat. Bukan lagi untuk mencari kesenangan atau perasaan menang. Bukan lagi untuk meniti jenjang karir. Bukan lagi untuk mencari perasaan menaklukkan.


“Sari, ingat tidak, waktu kamu bilang, bahwa sebebas-bebasnya kamu bertualang, kamu tidak akan pernah merugikan orang lain, atau merusak rumah tangga orang lain?”

“Iya.. aku ingat.”

“Aku yakin, dibalik keliaran kamu selama ini, kamu sebenarnya hanya sedang mencari yang terbaik buat diri kamu.”

“Jadi?”

“Jadi.. well.. hiduplah dengan wajar seperti semula. Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita barusan. Anggap saja ini sebagai ugkapan persahabatan. Seperti yang sering kamu lakukan dengan teman-teman priamu.”

“Aku tidak tahu lagi, Mbak. Mungkin selama ini aku hanya mencari kesenangan aja. Mencari kepuasan. Dan bukannya mencari yang terbaik seperti yang Mbak barusan bilang.”

“Aku ngerti. Apakah yang kita lakukan barusan ini akan mengubah kamu? Kalaupun iya, seberapa lama?”

“Aku benar-benar tidak tahu Mbak.”


Ira mebalikkan tubuhku menghadapnya, lalu memelukku. Kehangatan tubuhnya tak lagi terasa seperti membakar birahi. Namun seperti kehangatan seorang ibu, yang sudah lama tidak pernah aku rasakan sejak orang tuaku meninggalkanku di sebuah panti terkenal di kota ini, tempat aku pertama kali mengenal Ira.

“Dengar, Sari.. Lakukan yang kamu rasa terbaik. Untuk orang tertentu, Cobalah untuk melibatkan cinta, melibatkan kasih sayang, tidak hanya berorientasi kenikmatan, kepuasan, atau karir.”

“Hmm.. aku akan coba, Mbak..”

“Tapi, kalau untuk sekedar memberimu rasa senang.. well, I think it’ll be OK to do it just for fun! Just like we did just now!”

Kami tersenyum, lalu kembali tertawa, suasana kembali mencair.

“Sari, nothing can change you but yourself. Ikuti aja kemana pikiranmu membawamu. Selama kamu pikir itu akan memberimu kemajuan, lakukanlah, kalau tidak, ya.. pikirkanlah lagi.”

“OK, Mbak. Aku akan mencari yang terbaik. Tapi kalau lagi pengen.. well.. yaah.. boleh kan kalau kadang-kadang nelfon Mbak Ira lagi?”


Kami tertawa-tawa lagi, meski di dalam kepala ada rasa haru mengingat kembali betapa para pengasuhku menaruh harapan besar padaku, untuk menjadi yang terbaik. Cukup lama kami berpelukan sebelum kami mandi dan berpakaian, sampai akhirnya beberapa sahabat tiba di rumah Ira, untuk makan malam. Sampai semuanya pulang, aku berpamitan dengan Ira. Dan dia mengecup bibirku, lalu berkata.

“Sari.. thanks yah. Yang tadi itu..”

Ira mengedipkan mata kirinya, kami tertawa-tawa kembali. Lalu aku mengemudikan kembali Katana hijauku ke apartemenku, istanaku. Tempat dimana si pemburu beristirahat dan menggantung senapannya. Sebelum keesokan hari membidik sasaran baru. Sambil berharap suatu saat akan menemukan yang terbaik.