Hal yang sama sekali tidak kuperkirakan semula adalah, posisi yang sedang aku lakoni ini justru menjadi bumerang yang berbalik dan mendongkrak gelora birahiku kembali. Rasa gatal pada dinding vaginaku datang kembali. Dorongan nafsu merenggut seluruh saraf-saraf pekaku kembali. Dan rasa lemasku langsung lenyap diganti dengan semangat untuk menggenjot kontol Rendi agar dapat lebih dalam merasuki vaginaku. Aku kembali kesetanan. Kembali merintih dan mendesah. Kembali mencakar dan meremas bukit-bukit gempal tubuh Rendi.

Dan akulah kini yang mempercepat keluar masuknya kontol itu ke nonokku. Batang yang besar, panjang dan kerasnya bukan main itu membuatku bahkan lebih terbakar daripada yang pertama tadi. Aku berteriak sebagai ganti desahanku. Aku berteriak sebagai ganti rintihanku. Aku berteriak menjemput nikmat tak terperikan ini. Dan saat itulah aku merasakannya kembali.

Dari lubuk kedalaman nonokku, desakan ingin kencing kembali mengejar ke depan gerbang vaginaku. Karena kini aku tahu betapa nikmatnya menumpahkan desakan dari dalam tadi. Genjotan dan naik turun pantatku kubuat semakin menggila. Kulihat sepasang payudaraku terlempar ke atas ke bawah. Aku sudah semakin tidak peduli lagi pada rambutku. Gerbang vaginaku telah sepenuhnya siap menyambut. Dan dengan teriakan yang paling keras, orgasmeku kembali hadir.

Tiba-tiba ada rasa benci dan marah yang menyelinap di celah-celah membanjirnya tumpahan vaginaku. Aku benci dan marah kepada suamiku. Aku merasa dipecundangi selama 8 tahun perkawinanku dengannya. Aku merasa di lecehkan. Aku tidak sepenuhnya percaya bahwa Mas Adit tidak mampu memberikan kenikmatan sebagaimana yang kuterima dari Rendi hari ini. Aku merasa bahwa Mas Adit tidak bersungguh-sungguh mengusahakan dan memberikan kepuasan orgasme padaku istrinya. Saat itu pula aku meraung menangis. Aku menangis sejadi-jadinya.

Dan Rendi yang belum menyadari keadaanku, yang mungkin juga tidak mau tahu keadaanku, sementara kontolnya memang juga masih terus menggenjot nonokku, kembali meraih tubuhku agar merapat ke tubuhnya. Ketiakku dia serang habis-habisan. Payudaraku diremasnya habis-habisan. Aku tahu. Rendi hampir mencapai puncak kenikmatan seksual. Pasti sperma Rendi sudah merasuk ke batangnya untuk dimuncratkan ke dalam nonokku. Tetapi aku meraskan sakit yang amat sangat.

Aku langsung berontak merasakan sakit yang amat sangat pada nonokku. Genjotan Rendi yang tak habis-habisnya rasanya telah mengiris-iris vaginaku. Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dan turun dari ranjangku. Rupanya Rendi salah pengertian dengan sikapku ini. Dia berfikir bahwa aku ingin mengubah posisiku. Teriakan kesakitanku tadi dianggapnya sebagai teriakan kenikmatan. Begitu aku turun, dia langsung ikut menyusul turun. Dia berdiri dan pundakku dicekalnya dan kemudian menekannya agar aku berjongkok. Kemudian dia jaMbak rambutku dan menengadahkan mukaku.
"Ayoo Mbak Marr, ayoo Mbak Aditt, telaann.. minuumm..", dia meracau.
Dia sodorkan kontol besarnya ke mulutku. Aku harus menghisapnya. Sperma yang sudah dekat ke pintu keluarnya akan dia tumpahkan ke mulutku.

Karena rasa sakit pada nonokku itu, aku sudah tak mampu lagi berfikir jernih. Pilihan ini akan lebih baik daripada nonokku harus jebol, pikirku. Di samping itu, hati kecilku jadi terobsesi sejak aku dipaksanya untuk mengulum kontolnya pada awal dia memasuki kamar tidurku tadi. Hati kecilku ingin merasakan spermanya tumpah di mulutku. Hati kecilku menginginkanku meminum air maninya. Hati kecilku ingin merasakan tenggorokanku dihangati oleh lendir-lendir hangatnya. Hati kecilku menginginkanku meminum sperma dari kontol Rendi yang telah memberikanku kepuasan orgasme yang belum pernah seumur hidup kudapatkan. Dan hati kecilku juga ingin aku membuktikan bahwa aku bisa memberikan kepuasan yang dahsyat itu pula kepadanya.

Kuraih kontol Rendi dan melumatnya sepuas hatiku. Sepuas nafsuku. Sepuas kehausan nafsuku. Kepalaku mengangguk-angguk memompa kontol itu dengan mulutku. Dan akhirnya terdengar suara Rendi yang meregang. Desahan dan rintihannya memenuhi ruang sempit kamar pengantinku. Entah sudah berapa mililiter sperma Rendi tumpah ruah ke mulutku. Aku berusaha agar tak ada setetespun yang tercecer. Kini aku terdorong berusaha menelan seluruh air maninya.
Memang dulu pernah aku dipaksa Mas Adit suamiku, untuk mengulum kontolnya dan meminum air maninya. Tetapi waktu itu reaksiku adalah perasaan jijik. Aku langsung muntah-muntah saat lendir Mas Adit terasa menyemprot dalam mulutku. Selanjutnya Mas Adit tidak lagi pernah memaksa.

Tetapi pada Rendi ini, yang bukan suamiku, justru aku yang merasa menginginkannya. Dan sama sekali tak ada rasa jijikku. Bahkan aku merasakan kerakusan hewaniah saat tenggorokanku merasakan aliran lendir yang disemprotkan terus menerus milik Rendi ini. Rasanya aku menginginkannya lebih banyak lagi, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi.
Dan akhirnya redalah semua prahara. Kami sama-sama tergolek kelelahan. Kami telentang telanjang di ranjang. Kamar pengantinku dipenuhi nafas-nafas memburu dari para ahli selingkuh pengejar nikmat nafsu birahi ini. Sejenak kami terlena.

Aku sedikit gelagapan saat Rendi membangunkanku. Kulihat dia sudah rapi untuk kembali ke kantornya. Tangannya masih menyempatkan untuk mengelus dan memainkan jari-jarinya ke nonokku. Aku melenguh manja. Kami berpelukan dan saling memagut sesaat. Sebelum dia pergi aku tanya pada Rendi, kenapa dia begitu PD (percaya diri) dan yakin saat telanjang di depanku pada awal berada di kamarku tadi. Dia tidak menjawab kecuali menunjukkan senyumnya yang tipis. Apakah dia tidak khawatir aku akan menggebuknya dengan sapu lidiku yang kebetulan berada di tanganku tadi. Kembali dia tidak menjawab kecuali dengan senyumannya lagi.

Dan aku memang tidak terlalu menginginkan jawabannya. Aku juga meyakini, 90 diantara 100 perempuan, entah itu gadis, istri ataupun janda, apabila dihadapkan pada pemandangan yang sedemikian spektakuler sebagaimana tampilan kontol super besar dengan pria macho yang setengah telanjang tadi, pasti akan langsung jatuh terduduk. Kekuatan sihir dari penampilan Rendi dan kontolnya akan mampu menghempaskan harga diri setiap wanita hingga di lantai yang paling bawah. Dan mereka akan merelakan dirinya untuk dijadikan sekedar obyek pemuasan seperti tadi. Demikian pulakah aku? Ah, persetan dan peduli amat, pokoknya hari ini aku telah berhasil meraih orgasmeku yang pertama kali dalam hidupku. Persetan, persetaann..

Kemudian aku bertanya pula, mengapa saat pertama kali datang dan turun dari mobil sepertinya dia terkesan sangat sopan dan sama sekali tidak menampakkan akan berlaku 'kurang ajar' seperti tadi? Kali ini dia mau menjawab. Dia menceritakan pandangan teman-temannya bahwa di antara para istri teman-teman satu kantor, yang paling cantik adalah istri Pak Adit. Teman-teman bilang bahwa Bu Adit itu sangat sensual. Pakai busana apa saja selalu nampak cantik. Dan secara berkelakar mereka bilang, penampilan yang paling cantik dari istri Pak Adit tentu saja adalah saat tanpa memakai busana sama sekali, alias saat telanjang. Ampuunn, deh.

Sudah lama sebenarnya Rendi mendengar perihal diriku dan kemudian banyak memperhatikanku. Pada beberapa kali pertemuan atau hajatan antar teman sekantor dia banyak mengamatiku. Naluri kelelakiannya mendorong untuk selalu mencari kesempatan. Dan ketika kemarin Mas Adit menyuruhnya untuk ke rumah mengambil file dari komputernya, dia tahu bahwa inilah kesempatan emas baginya. Dengan sungguh-sungguh dia berancang-ancang dan mempersiapkan dirinya. Dia akan berusaha tampil secara "low profile" agar tidak mengundang kekhawatiran ataupun kecurigaanku, begitu ceritanya. Dia juga berusaha untuk seakan-akan tidak mengambil perhatian padaku. Kurang ajar juga kau Rendi, batinku.

Dia juga menceritakan bahwa wanita sepertiku pasti memiliki nafsu seksual yang luar biasa. Rendi mengutarakan pendapatnya dengan gaya bagai seorang pakar seksual. Posturku yang relatif kecil dengan pinggul, bokong, gaya berdiri maupun sensual bibirku yang katanya persis bibir Sarah Ashari, rambutku yang lurus yang juga dia katakan seperti rambut Sarah Ashari, betisku yang mulus kencang dan segudang lagi pujian gombalnya yang sepenuhnya mencitrakanku sebagai seorang perempuan yang paling sempurna untuk diajak ke atas ranjang. Edan, beraninya kau membicarakan daya tarik seksual istri temannya sendiri, kataku yang disambutnya dengan tawa lepas. Aku tahu bahwa itu semua merupakan dramatisasi Rendi sendiri.

Tetapi apapun yang terjadi, ucapan Rendi itu membuatku berbunga-bunga, walaupun juga setengah malu-malu. Dan ada beberapa hal yang kuakui bahwa ada benarnya omongan Rendi. Khususnya yang berkaitan dengan soal ranjang tadi tidak terlampau meleset. Aku memang merasa selalu kehausan. Apa lagi kalau sering kudengar dari teman atau tetangga, bagaimana mereka mendapatkan kepuasan lahir batin dalam hubungan intimnya dengan suami-suami mereka. Yang kurang ajar lagi, Rendi juga bilang bahwa nonokku yang seperti nonok perawan, dan nonok seperti itu pasti belum pernah merasakan kontol macam punyanya, katanya sambil melirikkan matanya. Dia menyindirku rupanya.

Aku hanya tersenyum sebagaimana dia menjawab pertanyaanku tadi. Yang dia maksudkan pasti bahwa kontol Mas Adit yang kecillah yang membuat nonokku tetap sempit seperti nonok perawan. Aku tertawa nyengir saja memikirkan semua itu.
Terus terang walaupun kenyataannya pahit, bagaimanapun apa-apa yang disampaikan Rendi tadi membuatku sangat tersanjung rasanya. Aku jadi semakin percaya diri. Pernyataan yang Rendi katakan itu juga sering kudengar dari lelaki maupun perempuan lain di sekitarku. Kali ini aku menjadi semakin percaya bahwa aku memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang sangat cantik dan menarik.

"Besok aku telepon ya, Mbak. Pak Adit baru minggu depan khan pulangnya?!".
Aku tidak bilang "ya", tapi juga tidak bilang "tidak". Que sera sera.. Peristiwa air mani Rendi yang muncrat ke mulutku pada akhir selingkuh hari ini tadi tiba-tiba terlintas dalam bayanganku dan membuat libidoku kembali bergetar. Hari itu, hingga sore dan malam menjelang tidur, nikmat selingkuh bersama Rendi tadi terus menerus membayang ke manapun aku bergerak dalam rumahku. Rasa pedih dan perih sekaligus nikmatnya nonokku ingin rasanya kuabadikan. Aku ingin selalu bisa mengenang dan selalu berada dalam kenangan Rendi. Ini bukanlah peristiwa seperti halnya jatuh cinta. Ini adalah peristiwa dimana pejantan bertemu betina. Setiap kali berjumpa yang dipikirkan tidak lebih dari soal perselingkuh mengejar pemuasan nafsu birahi.

Hampir sepanjang malam aku kesulitan tidur, gejolak libidoku dengan lembut terus membisiki telingaku.
"Lihatlah kontolnya, lihatlah belahan lubang kencing di kepalanya yang sangat sensual itu, lihatlah batangnya yang seperti patung lilin Madame Tussaud, lihatlah selangkangannya yang sangat mengundang lidah untuk menjelajahinya, lihatlah dadanya yang mengundang bibir dan lidahku, lihatlah ketiaknya, lembahnya, aromanya, bulu-bulu halusnya..".
Entah sudah pukul berapa saat teleponku berdering. Aku meloncat bak rusa betina. Meradang dan menerjang. Hampir saja aku jatuh tersandung kaki meja makanku. Hatiku seperti anak kecil yang sedang menunggu Papanya pulang membawa mainan yang dijanjikannya. Dengan cepat kuraih gagang telepon itu. Ah.., aneh.. aku kecewa. Ternyata hanya Mas Adit. Hanya..? Hanya..?

Dia bilang bahwa ia akan pulang hari Senin minggu depan. Dia juga bertanya apakah Rendi tidak kesulitan mengambil file dari komputernya. Dia juga menanyakan hal-hal rutin lainnya. Terus terang aku telah kehilangan semangat untuk menjawabnya. Semua kujawab seperlunya saja. Juga saat dia bilang bahwa dia sudah membeli kain tenun asli Banjarmasin untukku, yang memang dia janjikan sebelum pergi, rasanya aku menerima kabar itu dengan biasa-biasa saja. Pagi ini yang kutunggu dengan harap-harap cemas hanyalah telepon Rendi. Semalaman aku sudah kurang tidur. Semalaman aku hanya mencoba mengingat-ingat bagaimana kontol besar Rendi dengan 'kejam'-nya merobek-robek nonokku. Semalaman aku hanya ingin kembali mengulangi kenikmatan tak terperikan itu. Kenikmatan yang menghasilkan kepuasan tak terhingga sampai-sampai aku dapat merasakan betapa nikmat dan penuh maknanya orgasme itu bagiku.

Bersambung . . . .