Siang ini aku betul-betul pasrah pada dunia. Sekiranya akan terjadi kiamat pun, aku sepertinya akan siap menghadapinya. Tanganku terentang pasrah dan sesekali mencari pegangan. Tapi yang kutemukan hanya lantai licin yang basah oleh keringat kami. Lalu ketika kutemukan sebuah 'pegangan' dari bagian tubuhku sendiri, aku pun akhirnya meloco milikku sendiri meningkahi nikmatnya sodokan-sodokan yang dibuat Om-ku dari depan.

Tubuhku beberapa kali sempat menggelinjang hebat merasakan rangsangan yang datang dari bagian depan dan bawah selangkanganku. Tapi Om Wijoyo sama sekali tidak berusaha menahan liarnya gerakan tubuhku. Dibiarkannya aku menggeliat-geliat di atas lantai yang telah licin oleh keringat, sementara ia sendiri terus asyik berpacu laksana kuda jantan lepas kendali. Sesekali terdengar suara kecipak yang ramai. Aku tak tahu apakah itu suara kecipak punggung basahku yang beradu dengan lantai licin ataukah kecipak pahanya ketika membentur-bentur bukit pantatku.

Berkali-kali aku merintihkan nama Om-ku, tapi ia seperti tak peduli lagi. Karena aku juga memang tak bermaksud memanggilnya. Ia pun beberapa kali menyebut-nyebut namaku dalam suara yang terdengar seperti desahan. Kelihatan sekali ia sangat kenikmatan. Sesekali bisa kurasakan tubuhnya bergetar menahan desakan birahinya.

Lantai benar-benar telah basah oleh peluh kami berdua. Rambut Om Wi' yang ikal tampak menjuntai basah dan sebagian jatuh ke keningnya. Air tampak menetes-netes dari ujung kumisnya, menimpa perutku yang juga sudah basah oleh keringatku sendiri. Lalu di luar dugaanku, Om Wi' merebut batang kemaluanku yang tengah kukocok dan kini gantian ia yang mengonani diriku. Aku tersentak oleh betotannya. Gerakan tangannya menjadi lebih liar dan kasar, tapi rasa nikmat yang diberikan lebih sensasional.

"Ooohh.. Oohh.." berkali-kali aku mengeluarkan suara-suara yang tak jelas maknanya.

Aku tak mengerti mengapa rasa nikmat itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya bahasa tubuh dan suara mulut kami berdua lebih bisa mengekspresikannya. Om Wi' sendiri terus menggeram dan mengerang bagai singa liar tengah mengawini betinanya. Matanya yang biasanya teduh itu kini tampak memicing buas.

Sesaat ruang tengah guest house itu menjadi arena lenguhan dan erangan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Dan lenguhanku akhirnya berujung pada desahan panjang ketika aku tak bisa membendung lagi muncratnya air kenikmatan dari ujung kepala kemaluanku. Memancar, muncrat dan meleleh, membasahi tangan Om Wi' yang terus saja mengurut-urut batang milikku. Sesaat kemudian tangannya menggenggam bagian kepala kemaluanku yang sedang dalam kondisi sangat sensitif itu, kemudian meremasnya dengan lembut. Sentuhan terakhirnya itu membuat tubuhku bergidik hebat, tersengal dan aku memohon-mohon dia untuk menyudahi remasan tangannya itu.

Om Wijoyo lalu melepas tangannya dan mencabut miliknya sendiri untuk kemudian dikocok-kocok di atas perutku. Tak beberapa lama kemudian ia mulai menggeram tak karuan. Dalam posisi berlutut sambil mengocok seperti itu pantatnya tampak maju mundur dan mengejang-ngejang seolah menahan sesuatu yang ingin keluar.

Hingga akhirnya suaranya makin meracau dan berujung pada sebuah teriakan tertahan ketika semburan cairan putih kental beberapa kali menyemprot ke arah dada dan perutku. Sejenak kubiarkan ia tenggelam dalam puncak syahwatnya sebelum akhirnya tanganku menggenggam miliknya, kemudian kupilin-pilin dan terakhir kubalas perlakuannya tadi dengan meremas bagian kepalanya yang membulat besar itu. Ia berusaha menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang, tapi aku tetap mencengkeramnya. Sampai akhirnya tubuhnya yang gempal itu jatuh berguling, telentang dan aku menindihnya.

Ada sekitar lima menit kami berbaring telanjang, saling bertindihan di atas lantai. Tak ada satu pun suara keluar dari mulut kami kecuali suara nafas yang masih belum teratur.

"Gimana Hend..?" tanya Om Wi' setengah berbisik.
"Not bad..," jawabku singkat.
"Harus dibiasakan..," katanya sambil tersenyum.
"Mumpung masih ada waktu bersama Om di sini."

Ini memang baru hari Sabtu. Besok masih ada Minggu dan ditambah dua hari lagi aku berada di Yogya. Tentu saja aku akan memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya bersama dia. Tapi aku tak mengomentari ucapannya, tapi malah kupeluk dan kudekap tubuhnya erat-erat. Masih terasa lengket oleh keringat bercampur cairan kenikmatan dari tubuh kami berdua.

Sore itu kami memutuskan untuk kembali ke Yogya, setelah mandi di guest house dan makan siang di pinggir jalan. Kini gantian aku yang memegang kemudi. Penjaga mess sempat heran ketika kami pamitan dan tidak jadi menginap.

"Kami lupa bawa pakaian Pak," kata Om Wijoyo memberi alasan.
"Katanya nggak perlu pakaian..," bisikku mengodanya.

Ia menekan pahaku agar tidak meneruskan kalimatku. Mobil segera kuluncurkan ke arah Yogya dan kami tiba di rumah sekitar setengah tujuh malam. Dede belum kelihatan, tapi si Putri sudah ada di rumah. Malam itu kami bertiga keluar bermalam minggu, makan malam ke daerah Bantul. Sekitar jam sebelas aku sudah tertidur lelap, sendirian di kamar tengah yang disediakan untuk tamu. Sebelumnya kami sempat ngobrol dulu di ruang keluarga sambil nonton acara TV. Si Putri minta ijin tidur duluan, karena besok pagi akan ada acara ke luar kota lagi.

Tak lama kemudian gantian aku yang meminta ijin untuk tidur. Om Wi' sepertinya mafhum dan ia malah mengantarku ke kamar. Kami sempat bercumbu sejenak di dalam kamar tapi rasanya tak mungkin malam ini aku tidur berdua dengan Om Wijoyo. Di samping karena ada si Putri di rumah ini, permainan cinta kami tadi siang cukup menguras tenagaku. Toh besok masih ada hari Minggu, kata Om Wi' sebelum meninggalkan kamarku.

Dan keesokan paginya, subuh-subuh Om Wi' sudah mengetuk pintu kamarku. Aku sendiri masih tiduran. Dan begitu kubukakan pintu, aku langsung balik ke ranjang dan 'melingkar' lagi ke dalam selimut. Om Wi' segera menutup pintu kamar dan bergabung denganku di ranjang, ikut melingkar di balik selimut.

Menurut Om Wi', ia baru saja mengantar Putri ke terminal, katanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Tangannya langsung merogoh, menggenggam. Kebetulan aku tidur hanya bercelana kolor saja. Dan kebetulan pagi ini 'si kecil' sedang kencang-kencangnya bangun.

"Main yuk..," bisik Om Wi' sambil tangannya mulai mengelus-elus milikku.

Aku menggeliat, pura-pura menghindar. Tapi ia malah makin ketat mendekapku dari belakang dan mempererat genggamannya.

"Katanya mau dibiasakan..," rayunya lagi. Kali ini tangannya sudah mulai memijit-mijit milikku dengan nakal. Aku menggeliat lagi. Kali ini bukan untuk menghindar tapi aku kegelian oleh perbuatannya.

Aku diam saja tak menjawab. Yang keluar hanya suara erangan seperti anak kecil yang malas bangun pagi. Tapi semakin aku tak menanggapi ajakannya, tangannya malah semakin usil. Dibelai-belainya kantung kemaluanku yang pagi ini sedang padat-padatnya. Lalu sesekali tangannya berpindah ke belakang membelai-belai bukit pantatku, sambil jari-jarinya bermain-main ke celah-celahnya.

"Hendro, ayo bangun dong," kali ini nadanya seperti membujuk. "Kalau nggak mau, kita sarapan aja yuk!" lanjutnya seperti seorang ayah tengah merayu anaknya agar mau makan.
"Sarapan apa?" kalimat pertamaku akhirnya keluar.
"Pisang! Mau?" sahutnya. Tangannya lalu mengarahkan tanganku ke belakang untuk memegang miliknya yang sudah tegang membesar.

Rupanya tanpa sepengetahuanku, selama tangannya yang satu tadi sibuk bergerilya, tangan yang lain diam-diam melolosi pakaiannya sendiri. Om-ku kini dalam keadaan bugil dan masih memelukku dari belakang. Batang kemaluannya yang kini ada dalam genggamanku sudah sedemikian tegangnya. Ia kemudian menciumi kupingku dan mulai menjilatinya. Rangsangannya inilah yang akhirnya membuatku menuruti kemauannya untuk bermain cinta pagi itu.

Sesaat kemudian aku sudah menyusup ke bawah selimut dan melahap miliknya bulat-bulat. Aku puas-puaskan sarapan 'pisang ambon' yang berukuran besar itu. Sayup-sayup dari balik selimut kudengar lenguhan kenikmatan Om-ku setiap bibir dan lidahku menyentuh bagian tubuhnya yang paling pribadi itu.

Akhirnya pagi itu kami bermain cinta dengan penuh gelora. Di ronde pertama Om Wi' minta aku untuk 'menungganginya'. Ia mau mengajariku untuk melakukan posisi 'doggy style'. Dibimbingnya aku 'masuk' dari arah belakang.. Benar-benar sensasional. Tubuhnya yang padat berisi merangkak layaknya kuda tunggangan yang siap untuk dipacu. Bukit pantatnya yang padat tampak makin membongkah saja dalam posisi begitu. Baru kali ini aku bisa mengamati adanya bulu-bulu halus yang tumbuh di sekujur pantatnya. Sexy!

Ia masih sempat beberapa kali mengarahkanku untuk masuk, sebelum akhirnya aku menjadi pandai sendiri dan selanjutnya trampil 'menungganginya'.

Permainan kami baru berakhir sekitar jam sepuluh pagi, setelah di ronde kedua gantian ia yang 'menunggangi' tubuhku dari belakang. Ternyata dalam posisi begini memang mempunyai kenikmatan tersendiri. Aku tak bisa melihat, tapi bisa merasakan desakannya pada pantatku. Rasanya seperti ada yang meluncur-luncur, menyumpal, mengganjal, tapi enaknya bagai tak berujung..

Hari Minggu siang itu, usai semuanya, relatif kami tak punya acara lagi. Hanya putar-putar kota cari makan. Sorenya baru pulang dan mendapati Dede sudah ada di rumah. Besoknya aku sudah mulai sibuk melaksanakan tugas kedinasanku yang harus kuselesaikan dalam dua hari hingga Selasa.

Selama di Yogya itulah aku menginap di rumah Om Wijoyo. Sebelum kepulanganku Rabu pagi besok, malam-malam ketika semua sudah terlelap, Om Wijoyo mengundangku untuk 'menikmati' kamarnya. Tengah malam itu kami bercinta habis-habisan hingga jam tiga pagi. Aku benar-benar menuruti kata Om-ku untuk 'membiasakan diri'.

Dan ia benar-benar mau membimbingku, sehingga sulit bagiku untuk membedakan, apakah itu bimbingan yang baik atau buruk dari seorang Om kepada keponakannya. Aku tak peduli. Aku berusaha untuk menikmatinya saja dan melakukannya dengan cara yang menurut kami (bukan orang lain) adalah yang paling baik.

Besoknya Dede dan ayahnya mengantarku ke stasiun Tugu. Aku seperti mengalami deja vu. Suasana perpisahan ini seperti yang kurasakan ketika kepulangan Om Wi dari Jakarta dulu. Hanya kali ini aku yang menangis dalam pelukannya. Om Wi' sendiri berusaha untuk tegar.

Hanya matanya agak berkaca-kaca menatapku. Mungkin ia sengaja menahan diri, karena rasanya tak lucu kalau Dede melihat ayahnya sedang menangis. Dede sendiri tak sempat melihat itu semua, karena ia tengah sibuk membantu menaikkan barangku ke atas kereta.

Satu hal yang membuatku merasa lega: aku telah berhasil melewati satu 'pelajaran' penting dari Om Wijoyo dan aku sangat menikmatinya. Mungkin aku hanya perlu membiasakan diri, sebagaimana pesannya. Tapi sampai sekarang aku belum dapat menjawab, apakah aku bisa membiasakan hal itu dengan orang lain, ataukah harus membiasakannya dengan Om-ku seorang saja.

Tadi pagi sebelum aku berangkat, Om Wi' sempat datang ke kamarku dengan sebuah kejutan. Ia memintaku untuk melepas celana dalam yang sedang kupakai dan ditukar dengan miliknya yang juga sedang dipakainya saat itu. Ia bahkan membantu melepas celana dalamku dan masih sempat melakukan oral padaku beberapa saat. Oleh-oleh paling enak dari Yogya, katanya.

Aku masih terus berpikir, apakah pertukaran 'CD' itu merupakan keinginanya agar kami berkomitmen untuk saling memiliki, atau hanya sekedar pertukaran biasa yang tak bermakna apapun. Dan hingga kereta yang kutumpangi memasuki Stasiun Gambir, aku belum juga menemukan jawabannya.

Tamat