Bahar lalu mulai membelitkan kedua kakinya pada pinggangku dan akupun lalu berusaha memeluk dia sambil kuciumi bibirnya dengan bernafsu. Nafas kami saling memburu dan erangan kami tersendat oleh mulut kami yang terus lumat berciuman. Tubuh kami telah menyatu. Benar-benar menyatu dan lengket tak mau lepas. Bagai dua ekor anjing ketika sedang kawin.

Kunaik-turunkan pantatku, karena kurasakan jalan masuk yang semakin lancar saja. Sementara di bawah sana kaki Bahar melingkar mendesak-desak makin erat seolah meminta aku melakukan tusukan lebih dalam lagi.

Sesekali kulakukan gerakan-gerakan erotis; memutar dan mengulir bergantian, membuat Bahar makin meningkatkan belitan kakinya. Kuku tangannya terasa mencengkeram punggungku. Dalam kondisi biasa mungkin aku sudah kesakitan dicengkeram seperti itu.

Suara lenguhan kami makin keras terdengar. Bagai kerbau tengah terluka. Melenguh, mengerang, lalu melenguh lagi. Kenikmatan..

Sosoknya memang bagai kerbau. Kulit dan dagingnya tebal lagi liat. Tubuhnya kekar dengan bagian-bagian tertentu berotot kokoh. Kulitnya yang gelap, makin mendekatkan perumpamaan itu. Dan saat ini kerbau itu tengah menggelepar-gelepar penuh keringat di bawah tubuhku. Bunyi lenguhannya setiap kali terdengar seiring hujaman yang kulakukan. Kadang ia mengerang bila aku sedikit saja mengendurkan aksiku. Seolah tak rela aku menarik nafas barang sejenak, dan menuntutku untuk terus membuatnya tersentak-sentak.

Ternyata, nikmat sekali rasanya permainan seperti ini. Seluruh otot di kemaluanku bagai meluncur-luncur, serasa dipijit-pijit dan diremas-remas oleh sesuatu yang lembut dan licin. Apalagi bila Bahar melakukan konstraksi pada otot cincin yang ada di celah tubuhnya itu. Rasanya seperti menjepit lalu mengisap-isap dan menyedot batangku. Membuat mulutku megap-megap saking enaknya.

Bahar sendiri tampaknya sangat, sangat meresapi permainan ini. Matanya kulihat 'merem-melek' menikmati setiap genjotanku dan mulutnya sebentar-sebentar menguncup dan mengeluarkan suara mendesis, seolah-olah menahan sesuatu yang tak kuat ditanggungnya.

Aku terus berusaha membantu dia untuk mencapai puncak kenikmatannya. Batang kemaluannya yang beberapa saat luput dari perhatianku, kali ini mulai kugenggam. Ujungnya sudah basah penuh cairan. Precumnya banyak sekali! Ketika kucoba melakukan gerakan mengonani dia. Tubuh Bahar langsung menggeliat, punggungnya melengkung saking nikmatnya.

Ternyata gerakan tanganku yang naik turun itu membawa kenikmatan tidak hanya pada dia, tapi juga padaku, karena otot di sekitar pantatnya jadi ikut ketarik dan berkonstraksi seiring gerakan kocokanku. Batang kemaluanku makin terasa bagai diisap-isap oleh lubangnya yang rasanya makin licin itu.

Beberapa kali Bahar meregangkan punggung, dan kepalanya mendongak ke belakang disertai suara teriakan tertahan. Tubuhnya yang besar padat itu menggeliat-geliat tak terkendali. Anehnya, gerakannya tampak lentur bagi pemain akrobat yang terlatih. Wajahnya memerah mengekspresikan puncak birahi yang sangat kuat. Dan..

"Aaagghh.. Aaahh" Bahar berteriak beberapa kali sebelum akhirnya batang kemaluannya yang sedang kugenggam itu memuntahkan cairan kental dengan derasnya. Tumpah tak terkendali. Dalam genggamanku, otot yang ada di sekujur batang itu terasa makin membesar dan mengeras.

Air maninya muncrat beberapa kali dalam jumlah yang banyak hingga membasahi bulu yang ada di dada dan perutnya. Kental dan baunya sangat khas. Lelehan cairan kental itu juga meleleh sebagian di tanganku, hangat rasanya.

Kucoba untuk memilin-milin batang kemaluan Bahar dengan lelehan cairannya sendiri. Kumulai dari ujung kepala hingga pangkalnya. Naik turun. Ia sampai menggelinjang, lagi-lagi bagaikan kerbau disembelih, karena merasakan perbuatan tanganku itu. Matanya terus terpejam tapi mulutnya menganga dan mengeluarkan lenguhan-lenguhan kepuasan.

Sementara rasa nikmat yang menjalari di tubuhku pun makin memuncak sejak tadi. Karena bersamaan dengan datangnya puncak kenikmatannya, otot di sekitar pantat Bahar menjadi makin mengkerut rapat, sehingga milikku makin terjepit dan terjebak dalam lorong liat yang ketat. Aku sampai tersengal-sengal merasakan jepitan otot itu, apalagi disana kurasakan pula ada gerakan yang berdenyut-denyut. Ingin rasanya menahan desakan lahar dari pangkal kemaluanku yang makin lama makin kuat, mendesak ingin segera dimuntahkan.

Dan akhirnya aku pun tak kuasa lagi untuk tidak menuntaskan puncak birahiku yang sedari tadi kutahan. Kujejalkan rudalku sekuat tenaga dengan sekali sodokan yang kuat, kugesek-gesekkan pada sekujur dinding yang ada di sana, lalu meledaklah lava panas, mewakili kenikmatanku, membanjiri lubang sempit milik si manusia kerbau itu.

Disertai dengan letupan-letupan rasa nikmat yang sulit kulukiskan, mulutku hanya bisa mendesis-desis bagai kepedasan. Oh, orgasme ini datang sangat intens sekali..

Beberapa kali pinggulku menyentak-nyentak, mengikuti setiap muncratan yang terjadi. Mulutku hanya bisa berbisik-bisik memanggil nama Bahar.

"Baanngg.. Oohh.. Banngg.. Ooohh" yang kupanggil hanya membalasnya dengan mengelus-elus perutku.

Kugoyang terus pinggul dan pinggangku. Tapi kali ini aku tak bisa lagi mengontrol iramanya. Hingga setiap gerakan yang kulakukan menimbulkan suara mirip kecipak, sebagaimana suara yang ditimbulkan bila sebuah benda padat bergesekan dengan sesuatu yang basah.

Di ujung kenikmatan yang mulai mengendur, badan kami beberapa kali masih sempat bergetar merasakan sisa puncak birahi yang sangat intens tadi. Hingga tubuhku jatuh tengkurap lemas menindih kedua pahanya yang terpentang lebar dan basah penuh keringat. Kami kemudian saling berpelukan. Keringat benar-benar telah membasahi tidak hanya tubuh kami berdua, tapi juga sprei ranjang.

Di luar hujan masih terdengar meski tak sederas tadi. Sementara di ruangan hanya terdengar dengus nafas kami yang masih memburu tak karuan. Aku mencoba duduk dengan kedua telapak tangan bertumpu ke belakang. Batang kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas itu masih terjepit di sela pantatnya. Masih terasa denyutan-denyutan yang kadang-kadang menimbulkan sedikit rasa gatal yang nikmat. Bahar lalu mencoba bangkit dari posisi telentangnya dan pelan-pelan mencoba duduk di atas tubuhku sambil berusaha tetap mempertahankan milikku agar tetap tertancap.

Kami sekarang dalam posisi duduk rapat saling berhadapan dengan kedua lutut saling bertumpangan. Bibir Bahar lalu menciumi seluruh wajahku dan berakhir di bibir. Kubalas dengan lumatan yang kuat. Lidahnya lalu bermain-main. Kubalas lagi dengan lumatan yang lebih kuat. Begitu seterusnya, sampai kami hampir kehabisan nafas.

Kami seperti tengah merayakan suatu kejadian besar yang baru pertama kali kami berdua lakukan. Hingga lupa bahwa bagian bawah tubuh kami sebenarnya masih menyatu.

Aku lalu mencoba mencabut batang kemaluanku yang sudah mulai mengendor itu. Tapi Bahar menahanku. Dia malah mendorong dadaku hingga aku kembali telentang di kasur dan kemudian ia mengambil posisi berjongkok di atas tubuhku. Mau apa dia?

Pelan-pelan ditariknya pantatnya ke atas, lalu sedikit demi sedikit keluarlah batang kemaluanku dari lubangnya. Sialan, rasa nikmat kembali mendera seluruh tubuhku. Bahar tampak meringis kegelian. Demikian juga aku. Rupanya inilah teknik Bahar bagaimana cara mencabut tetapi tetap mendatangkan kenikmatan. Akhirnya lepaslah seluruh milikku yang kini telah basah penuh dengan lumuran lendir. Tiba-tiba di antara kepuasan dan rasa lega, aku merasakan pula rasa kehilangan..

Dengan tubuh masih telanjang, Bahar lalu bangkit dari ranjang. Berjalan menuju meja, mengambil rokok dan menyulutnya. Asapnya terhembus kemana-mana. Ia lalu kembali menuju ranjang dan berbagi mengisap rokok denganku.

"Bagaimana Bang? enak?" tanyaku. Dia pernah bilang, enak rasanya merokok sehabis melakukan hubungan seks, seperti layaknya menikmati rokok setelah makan.
"Rokoknya atau..?" Bahar menjawab dengan pertanyaan lagi.
"Kalau dua-duanya bagaimana?" kataku sambil ketawa mendengar omongannya yang nakal itu.
"Dua-duanya sama-sama nikmat. Rokok yang ini membawa pikiran jadi segar kembali. Kalau 'rokok' yang satunya itu.. Hmm.. Membuatku benar-benar gila" jawabnya sambil melirik ke kemaluanku yang sudah mengendur.
"Rasanya aku jadi kepingin juga.." kataku kemudian.
"Kepingin rokok atau..?"
"Dua-duanya!" sahutku cepat sambil tertawa ngakak.
"Memangnya sudah siap untuk, 'merokok'?" tanya Bahar memberi tekanan pada kata 'merokok' yang artinya lebih mengarah pada anal seks.
"Mas kan belum punya pengalaman dibegitukan" lanjutnya.
"Abang yang harus menyiapkan"
"Tampaknya perlu waktu"
"Mengapa tidak kita mulai dari sekarang?"
"Sekarang? Besok saja.."
"Sekarang!"
"Besok!"
"Sekarang.. Please.." mintaku seperti anak kecil.

Bahar mendekatiku dan lalu mencoba memberiku 'nasehat', berteori tentang hubungan anal seks, mencoba memberitahu aku hal-hal yang dianjurkan dan yang tidak untuk dilakukan.

Tapi aku tak menggubris celotehnya itu. Aku lalu mengambil botol baby oil dan menyerahkannya ke Bahar. Kuangkat lututku lalu kubuka paha dan selangkanganku lebar-lebar sehingga celah pantatku tampak jelas. Bahar menatapku sambil geleng-geleng kepala.

"Kalau bandel, aku sundut lho!" katanya sambil mengarahkan rokoknya ke selangkanganku.

Aku hampir menjerit, tapi Bahar segera menarik kembali rokoknya sambil tertawa-tawa. Tangannya yang satu lagi lalu berusaha memelukku, kemudian ia berusaha membujukku dengan sebuah bisikan.

Aku tak akan menceritakan apa yang telah dibisikkan Bahar ke telingaku. Yang jelas aku hanya bisa mengangguk dan menuruti kata-katanya.

Tamat