Esok paginya adalah hari Minggu yang sangat cerah. Udaranya serasa begitu menyegarkan dan beraroma air laut. Aku dapat mendengar debur ombak di kejauhan. Angin bertiup begitu ramahnya, membuat sinar mentari menjadi tidak begitu menyengat kulit. Ran dan aku berjalan sudah sekitar 15 menit dari mess pembibitannya. Katanya ingin menunjukkan sesuatu yang bagus kepadaku. Kami sudah berjalan di jalan setapak kecil ini di bawah sengatan sinar mentari pagi.

"Masih jauh?" tanyaku saat jalannya mulai berbatu. Dan makin lama batu-batunya semakin besar.
"Sebentar lagi."

Kami berdua lebih sedikit bebas berekspresi saat ini. Berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih (Kami memang sepasang kekasih, kok. Cuma bukan pasangan normal saja). Berpelukan dan berciuman sesekali. Mengasyikkan. Tiada kata-kata yang lebih tepat lagi yang dapat menggambarkan keadaan kami saat ini.

"Turun ke sini." katanya menyadarkanku dari lamunanku.
"Hati-hati." tangannya yang kuat menuntunku.
"OK."

Kami melewati batu-batu yang besar dan kecil. Terkadang harus memanjatinya. Batu-batu ini sebenarnya adalah pantai berbatu. Tidak ada pasirnya. Aku sesekali melihat ombak memecah di salah satu batu besar.

Ran mengulurkan tangannya kepadaku. Dia berdiri diatas sebuah batu dengan permukaan yang datar dengan kemiringan seperti sebuah kursi untuk berjemur sinar matahari. Tempatnya teduh karena di atasnya, dahan-dahan pohon entah jenis apa menutupinya dari sinar mentari.

"Sudah sampai?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya. Ran mengangguk. Aku langsung duduk dengan dia di sebelahku.
"Ok, tapi apa bagusnya?" tanyaku sambil meletakkan tas berisi makanan yang kubawa sedari tadi. Ran menunjuk kearah laut.
"Lihatlah." katanya sambil tersenyum.

Dan aku melihatnya. Beberapa saat ini yang serasa seabad, aku melihat lautnya yang biru. Jauh tidak berujung dan langsung bertemu dengan kaki langit yang juga berwarna biru cerah. Beberapa kapal nelayan kecil sesekali melintas di kejauhan.

"Astaga, indah sekali." bisikku terpana.
"Suka, kan?" Ran memberi kecupan sayang di pipiku.
"Kita disini sampai matahari terbenam. Tunggu aja. Bagus banget, deh."

Ran merebahkan dirinya ke atas batu, dan aku mengikutinya. Perasaan santai langsung menyelimutiku. Anginnya yang sepoi-sepoi, teduhnya pepohonan dan suara deburan ombak seolah membuaiku. Tidak percuma aku bolos untuk kunjungan singkat ini. Aku merasakan Ran beringsut mendekat. Lalu dia memelukku dari samping dan mulai mencumbu telingaku. Tangannya mulai gerayangan. Aku tersentak.

"Hei, Ran." Aku mencoba untuk mengambil jarak. Tapi dia tidak akan melepaskanku begitu saja.
"Nanti dilihat orang." kataku dengan sangat kikuk.
"Sapa sih yang mau datang ke sini?" tantangnya acuh. Tangannya mengelus selangkanganku.
"Kalo gak, ngapain aku ngajak kamu kesini?"
"Eh, tapi.."

Ide seks di tempat terbuka rupanya membuatku sedikit tidak nyaman.

"Gak bakalan ada yang liat. Nelayannya pada jauh di sana." tangannya membuka kancing celanaku.
"Aku aja kalo kesini kadang-kadang JO sambil mikirin kamu."
"Ih, korban tangan lagi." kataku tertawa.
"Nyantai disini, ngeseks, makan siang.." tangannya mengelus kejantananku yang mulai menegang dari CD-ku.
"Nyantai lagi, ngeseks.."
"Ide yang gak jelek." selaku.
"Ngeseks lagi," tangannya menyelip ke balik CD-ku.
"Nyantai, ngeseks.." tangannya terhenti sejenak. Lalu meraba mencari.
"Eh?" katanya bodoh.

Aku berusaha menahan tawa.

"Kucukur." kataku pendek.
"Emang kenapa aku bisa lama di kamar mandi tadi?"
"Hm.." tangannya kembali mengelus-elus. Dia membuka CD-ku.
"Wah," katanya saat melihat kejantananku yang bersih tanpa bulu.
"Aku potong pendek sih bisa. Tapi nyukur sampe sebersih ini?" aku melihat nafsu membara di matanya.
"Keliatan lebih besar, dan ga bakalan kepotong iklan lagi, deh."
"Emang besar, kok." protesku.
"Emang.."

Aku tidak dapat melanjutkan kata-kataku karena saat berikutnya, aku merasakan kejantananku berada didalam mulutnya. Kata-kataku yang tidak terucapkan tersedak keluar bersama erangan nikmat yang tidak jelas. Ran mencumbui kejantananku seolah itu sebuah es krim yang sedang dinikmati anak kecil. Caranya mengulum, menghisap dan menjilat, seolah terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Dan aku dapat merasakan kegemasannya pada diriku yang baru ini. Sebelumnya aku belum pernah merasakan OS-nya yang sebegitu nikmat. Tanganku mencengkram apa yang bisa kuraih. Kenikmatan cumbuannya membuat seluruh darahku serasa mengalir ke dalam otakku.

Tak lama kemudian, aku merasakan kekuatan yang terlepas dari tubuhku. Eranganku tidak terkendali lagi, sebebas-bebasnya, tanpa takut ada yang mendengarkan. Mulut dan lidahnya masih berada di kejantananku pada saat itu. Cumbuannya yang tidak berhenti membuat rasa nikmatnya semakin menjadi. Pelepasanku menjadi sedikit lebih lama.

"Oh.. Akh.. Astaga..!" seruku gemetaran saat puncak kenikmatanku berakhir.

Nafasku terengah cepat. Kedua kakiku serasa lemas. Aku merasakan perut dan dadaku yang dibasahi oleh pelepasan puncak kenikmatanku, sedang dijilat olehnya. Aku melihatnya melakukannya.

"Ganas banget." bisikku saat wajah Ran sudah dekat sekali dengan wajahku.
"Servis ekstra untuk full show tanpa iklan." katanya sambil tertawa pelan.

Lalu kami berciuman. Dalam dan hangat. Kelembutan dan kehangatan bibirnya dapat kurasakan dengan jelas. Ketegangannya juga. Dengan pikiran yang agak sedikit nakal, aku membuka celana jeans yang dipakainya dengan perlahan. Aku selalu senang bermain-main dengan pengendalian dirinya, yang mana pada akhirnya berakhir dengan kemenanganku; kendali dirinya lepas, dan Ran akan seperti seekor serigala lapar.

Kedua tanganku menelusup masuk ke balik CD-nya. Mengelus, meremas, dan mnggosok kejantanannya yang menegang dengan gerakan yang menggoda. Ran mengeluh pelan di antara ciumannya yang sekarang berada di leherku, lalu turun ke dadaku dan ke kedua puting susuku secara bergantian. Kedua tanganku masih bermain-main dengan kejantanannya dengan gerakan yang nakal.

Tepat saat Ran menggeram gemas, aku menukar posisiku hingga berada diatasnya. Terkesiap, Ran hanya bisa mengeluh nikmat pada saat berikutnya dimana kejantanannya sudah berada didalam mulutku. Aku memang tidak sepandainya dalam OS, tapi setidaknya aku tahu bagaimana bermain-main dengannya. Tangannya mencengkeram rambutku dengan erat. Geraman-geraman kecil terlepas dari mulutnya. Ran menginginkan kepalaku tetap disana, namun aku tidak melakukannya. Aku sedang bermain, seperti layangan, tarik dan ulur talinya. Lidahku kemudian berada pada pusarnya, memberikan kecupan dan jilatan-jilatan yang menggoda. Aku mendengarkan geramannya yang frustasi. Dia begitu menginginkan, sudah begitu mulai menginginkan diriku.

Dengan geraman keras atas penyerahan dirinya pada naluri kebinatangannya, Ran membawaku ke sisi tubuhnya. Dengan gerakannya yang cepat, tubuhnya sudah berada di dalam tubuhku dalam hitungan detik. Ketidaksiapanku membuatku merasakan sedikit rasa nyeri, yang kemudian perlahan menjadi nikmat saat aku menyesuaikan irama tubuhku dengannya. Aku merasakan kekuatannya, kejantanannya yang nyata dan rasa laparnya akan diriku.

Ran mengunci diriku sehingga aku benar-benar tidak dapat bergerak, berada dibawah kendalinya sepenuhnya. Dia benar-benar berkuasa atas seluruh tubuhku. Menjelajah dan menjajahnya sepuasnya. Dia melakukannya dengan rasa lapar yang lebih daripada yang pernah dirasakannya selama ini; tujuanku tercapai, walau aku tidak pernah menyangka bahwa jika Ran lepas kendali; benar-benar lepas kendali, maka kekuatan dan kekuasaannya menjadi sangat kuat bagiku.

Aku benar-benar tidak bisa bernafas. Ran seakan hanya ingin memuaskan rasa dahaga dan lapar yang dirasakannya. Dia membuatku tidak bisa bernafas! Seluruh kekuatannya ditumpahkan kepadaku. Dorongannya begitu kuat, seakan dapat menghancurkan apa saja. Gerakan tubuhnya semakin menghentak, dan pada akhirnya, Ran menggeram keras, sembari menggigit pundakku, dan melepaskan puncak kenikmatannya kedalam tubuhku. Begitu kuat dan penuh hentakan.

Aku masih tidak dapat bergerak, berada di dalam penguasaannya. Walaupun begitu, aku merasakan sensasi kecil yang mengalir dari bagian bawah tulang belakangku, terus menuju otakku dan langsung menjadi ledakan besar disana. Pandanganku menjadi gelap. Aku merasakan tubuhku melepaskan energi kenikmatan dengan cara dan rasa yang belum pernah kualami. Dorongan yang keras dari kejantanannya di dalam tubuhku seolah memacuku untuk lebih banyak menyemburkan cairan putih kental yang menandakan semakin banyaknya rasa nikmat yang kurasakan.

Kami tergeletak lemas bersisian. Percintaan yang hanya sekali ini bahkan lebih banyak menghabiskan energi dibandingkan dengan beberapa kali percintaan kami semalam. Nafas kami berdua masih memburu. Perasaan nikmat perlahan meninggalkan kami berdua seiring dengan datangnya ketenangan pada diri kami. Ran membelai bekas gigitannya di pundakku.

"Sakit?" tanyanya.
"Sori." tawanya gugup.
"Hei.." aku berusaha menenangkannya.
"Gak pa-pa, kok."
"Kayanya aku main kasar, ya, kali ini?" sesalnya.
"Aku suka," ujarku cepat.
"Aku menikmatinya." aku menatap ke dalam matanya, memperlihatkan bahwa aku serius.
"Sesekali boleh, tapi abis sekali itu jangan langsung lagi?" aku meringis tertawa sambil memperlihatkan beberapa bagian tubuhku yang agak lecet.
"Sori.."

Aku mengecupnya.

"Aku suka kamu kalo sesekali lepas kendali." Aku mengecupnya lagi.
"Lebih ekspresif." Ran hanya tersenyum lemah.
"Serius! Tanpa diapa-apain, aku bisa keluar sendiri." Ran mengangkat alisnya.

Aku membawa tangannya ke tempat dimana aku melepaskan peluruku.

"Gimana?" tantangku. Ran tertawa.
"Aku nggak percaya."
"Tapi ada, kan?" kataku berkeras.
"Tapi mungkin lain kali harus pake alas kalo di atas batu. Asyiknya sih yang pasti di atas tempat tidur."

Ran tiba-tiba memelukku erat-erat.

"Aku beruntung punya kamu." ekspresi di matanya terlihat begitu indah.
"Aku juga beruntung jatuh cinta ama kamu." aku tersenyum dan memberikannya satu kecupan lagi.

Kami bertatapan sejenak sebelum akhirnya Ran menciumku. Lembut dan penuh perasaan. Aku dapat merasakan rasa cintanya padaku terpancar dari seluruh tubuhnya seakan sebuah besi yang menguarkan panas. Aku balas menciumnya. Dan kami akan lebih menikmati waktu kebersamaan kami yang tersisa dengan lebih mengekspresikan cinta kami masing-masing.

*****

Aku melihat kiri kanan sebelum mencuri kecupan di bibirnya. Ran terkesiap.

"Lo, gila apa?" Aku terkekeh.
"Gak ada yang liat, kok." Aku merangkul bahunya, seolah aku adalah sahabatnya.
"Kirim SMS, ya. Bilang kalo mo naik ke kota. Aku jemput ntar."
"OK."

Aku berbalik menuju jalan raya, menunggu sebuah bis yang sudah nampak di kejauhan.

"Wan," panggilnya. Aku menoleh. Dan saat itulah Ran memberiku kecupan satu tarikan nafasnya.
"Bye."
"ILU." kataku sambil menatapnya.

Aku yakin saat ini, jika Ran menatap mataku, maka ia akan melihat cintaku disana. Aku mengecup ibu jari dan jari tengahku yang kurapatkan, menyentuh dadaku dengannya, lalu menyentuhkan kedua jari tersebut kedada Ran.

"ILU juga." Ran melakukan hal yang sama saat bis tersebut berhenti untuk mengambilku.

Aku menaiki bis dan melambaikan tanganku. Bis berjalan, dan aku terus berusaha untuk melihatnya hingga sosoknya lenyap saat bisnya berbelok di sebuah tikungan. Aku mencari tempat duduk yang nyaman untukku, dimana aku bisa sambil tiduran di sepanjang jalan pulang. Baru sebentar aku duduk, HP-ku berbunyi tanda SMS masuk. Aku membuka dan membacanya.

'I'll MU dan LU everyday
& twice on Sunday.
Nice xx 4 last 2days.
I'll com 2 c u next week.
ILU&IMU

Aku tersenyum membaca SMS kiriman Ran. Aku masih terus membacanya bahkan sampai saat dimana HP-ku kehilangan sinyal karena berada di luar jangkauan area service kartu pra-bayarku.

Tamat