Pada hari Sabtu yang merupakan santai bagiku itu aku berniat ke Maruzen Manggarai untuk mencari buku. Di atas Metro Mini 17, Manggarai Senen PP seorang pengamen naik dari terminal RS Raden Saleh. Dengan celana jeans belel dan gitar bututnya dia melantunkan lagu-lagu. Kuperhatikan bokong anak ini seksi sekali. Anaknya jangkung, kurasa tidak kurang dari 170 cm, kerempeng, rambutnya yang agak dipanjangkan lepas terurai. Aku perkirakan usianya sekitar 21 atau 22 tahun. Wajahnya nampak bersih, sepertinya mahasiswa drop out.

Sejak dari RS Raden Saleh hingga depan stasiun KA Cikini aku tidak begitu memperhatikan apa yang dinyanyikannya maupun melodi yang dibawakan oleh gitarnya. Yang terus menjadi perhatianku hanyalah bokongnya yang seksi itu. Kubayangkan seandainya aku bisa membenamkan wajahku di celah bokongnya. Dengan membayangkannya saja aku sudah ngaceng berat.

Di stasiun KA Cikini, dia turun. Aku tiba-tiba begitu saja ikut turun, dan lantas mengejarnya saat melihat dia bergegas ke arah pasar Cikini.
'Dik, dik, sebentar, mau tanya. Saya seneng denger lagu-lagunya tadi. Kalau aku carter bisa nggak? Adik hanya nyanyi untuk saya. Kebetulan saya ini penulis yang harus banyak mencari inspirasi. Mungkin adik bersama saya selama 2 atau 3 hari. Berapa saya bayar per harinya? Kalau bisa kita besok ketemu di mana? Akan saya jemput. Saya akan menginap di Bogor. Di sana saya punya pondok yang asri dan sejuk. Saya selalu menulis di tempat itu'.
Begitulah, aku langsung membeberkan maksud dan tujuanku secara lengkap dan terperinci kepada sang pengamen bis kota ini.
'Eeehhmm.. Boleh Oom, terserah Oom aja mau kasih berapa. Hitung-hitung cari pengalaman. O ya boleh nggak kalau saya bawa teman Oom'.
Aku agak mikir.., tetapi sebelum aku menjawabnya, 'Ah nggak usah deh, Oom khan mau ngarang, n'tar ngeganggu lagi. Besok disini saja Oom ketemunya. Saya khan tinggal di belakang pasar itu. Jam berapa?'.
'Jam 11.00, nanti kita makan siang dulu di deket-deket sini. Siapa nama adik? O ya, nih buat panjer ..', kusodorkan 1 lembar 100 ribuan rupiah.
Wajahnya langsung berbinar, 'Nama saya Robert Oom. Panggil saja Obet. Makasih Oom, besok ya, saya tunggu. Selamat siang'.

Biasa, aku selalu lancar dalam mengawali sesuatu, tetapi sebagaimana saat ini, aku berpikir, bagaimana besok? Ya, biar besok sajalah! Dengan HP, kutelepon Pak Karta pemilik pondok santai yang biasa kupinjam (sewa) untuk bersantai di Bogor.
'Pak saya mau pinjem tempat ya, 2 hari. Besok siang saya nyampe, kuncinya titipin Mang Jani saja. N'tar saya mampir sana', nah beres sudah.

Pondok Pak Karta terletak di kebun buah-buahan yang cukup luas. Ada pohon manggis, duku, jambu, sawo dan lainnya.
Pukul 11.00 sesuai janji kujemput Obet di dekat stasiun Cikini. Aku pinjem mobil kakakku dengan alasan akan melihat-lihat tanah di Bogor, ada relasiku yang butuh tanah untuk rumah kebun. Sesampai di tempat, aku turun dari mobil dan melihat sana sini. Ternyata Obet sudah melihatku saat parkir mobil.
Dia mendatangiku, 'Oom, siaang.. '.
'Hai, siap? Makan di mana kita? Yang enakkan dikit?'.
Obet menawarkan untuk makan soto Cirebon.
'Seger Oom'.
'Ayolah..', dia mendahuluiku dan kemudian kuikuti.
Sambil melepas kerinduanku, aku memandangi bokongnya yang masih dibungkus jeans belelnya itu. Rasanya anak ini cukup tampan. Badannya yang jangkung kerempeng justru membuatnya nampak simpatik dan seksi. Aku geregetan memandang anak lelaki macam begini ini.

'Berapa umur kamu Bet?', aku berusaha mengakrabkan diri dengan memanggil namanya saja.
'19 tahun Oom'.
'Kuliah?'.
'Ya, Oom, di UKI, sipil'.
Lumayanlah, cukup buat ngobrol. Tak lama kemudian kami sudah berada di jalur tol Jagorawi.
'Main gitarlahh ..', aku tersenyum demikian juga dengannya.

Diambilnya gitarnya, dia alunkan lagu-lagu pop Indonesia. Ada lagu Koes Plus, ada Rinto Harahap, ada Doel Sumbang, biarlah terserah dia. Wong yang penting bagiku sebenarnya bukan nyanyiannya koq. Yang penting aku bisa menatap bokong dan sosoknya yang jangkung kerempeng tetapi simpatik itu. Sepanjang jalan aku berusaha menggiring ke suasana hubungan yang akrab dan santai. Sesekali aku menepuk-nepuk dia. Bahunya, pahanya atau apalah yang pas enak buatku.
Di tempat istirahat menjelang masuk kota Bogor, aku mengisi bensin penuh. Sebelum meneruskan perjalanan, kuajak Obet untuk membeli bermacam-macam makanan dan minuman untuk dimakan selama di pondok.
'N'tar kalau makan siang atau malam ada Mang Jani yang bisa kita suruh beli', kataku pada Obet.

Keluar dari kota Bogor lebih ke selatan, ada jalan desa ke kiri kira-kira 2 km. Melewati sungai yang bening airnya, sesudah melintasi bukit kecil berbatu terdapat halaman luas. Di dekat pintu masuknya ada rumah kecil. Aku mengambil kunci rumah dari Mang Jani penjaga kebun. Mobil masuk lagi kira-kira 100 m dan akhirnya nampaklah pondok tersebut. Terbuat dari bambu. Udaranya adem. Di samping pondok ada sungai kecil yang airnya terus bergemericik sepanjang tahun. Tempat ini paling kusuka untuk menyendiri, mengarang ataupun sekedar bersantai bersama keluarga. Sesekali juga untuk iseng seperti halnya sekarang.

Kuletakkan laptopku. Kupasangkan kabel ke stop kontak di dinding dan lalu kunyalakan laptopku. Obet hanya mengamati. Dia mencari tempat duduk yang serba lesehan. Dia memilih tempat di pojok dekat jendela. Dia sandarkan gitarnya.
'Ya, santai saja Bet. Buatku yang penting suasana kok. Dengan memandangi kamu dengan segala tingkahmu saja aku sudah merasa nikmat dan, kontolku sudah ngaceng kok..', demikian batinku.

Dari mobil, kuambil poci pemanas listrik untuk membuat minuman. Kuisi air bersih dari teko air yang disediakan di tempat itu. Kutawarkan pada Obet untuk 'self service' memilih minumannya sendiri. Ada kopi, jahe, coklat susu, teh maupun capuccino. Mang Jani datang membawakan gitarku. Sebenarnya ini memang surpriseku untuk Obet yang sudah kuatur. Gitar klasik asli Spanyol, Tarrega. Mang Jani menyerahkan gitar spanyol tersebut kepadaku. Kupetik-petik sebentar untuk mencek setelan nadanya.

Setelah aku membetulkan posisi dudukku, masih dengan gitar di pangkuanku, kupetik 'Romance d'amour', lagu klasik tradisional Spanyol yang sangat romantis. Tentu saja Obet terbengong-bengong. Dia mendekat dengan senyum-senyum kecil. Rupanya dia tidak ingin menggangguku. Dia perhatikan jari-jariku yang lincah memetik dawai gitarku. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya terkagum-kagum, kemudian mengacungkan jempolnya padaku tanpa suara.
Selesai satu lagu itu..
'Hebat Oom. Oom hebat'.
Dia raih tanganku, menjabatnya erat-erat.
'Ajarin dong Oom'.
'Mahal, kamu nggak mau bayar n'tar'.
'Mau bayarannya berapa?', dia tertawa.
Dia tahu bahwa aku hanya berkelakar.
'Bukannya berapa, tetapi apa?'.

Kemudian aku mulai memetik gitar lagi. Lagunya adalah 'Asturias' milik Albeniz yang sangat sentimental dan melankolis itu.
'OK deh Oom, apa? Apa bayarannya? Pokoknya ya ini yang aku punya. Gitar rongsokan, T-shirt dan celana jeans belel'.
Obet yang langsung jatuh hati pada petikan gitarku, menyatakan ingin belajar dengan mengorbankan semua yang dia miliki.
'Bener? Bener, nggak nyesel nihh? Kalau begitu cepet buka baju dan celanamu, biar kamu bugil pulang ke Jakarta. Ayo cepat bukaa..!', sambil tertawa kuperintahkan dia untuk melucuti pakaiannya.
'Ayyoo dong Oomm, ajarin Obet..', pintanya merengek.
'Buka dulu..', kutaruh gitarku aku berdiri ambil kopiku.

Dasar anak muda, dasar nekat, dasar badung, dasar ngotot, dasar nyentrik. Kuperhatikan Obet membuka pakaiannya satu persatu. Mataku melirik. Saat dia melepas jeans belelnya, dengan tubuh agak melengkung, dia menarik kaki celananya yang terakhir hingga nampak tinggal cawatnya yang berwarna putih. Benjolan besar membayang dari cawat itu. Wow, kontol Obet.
'Nih Oom ambil semua, biarin deh pulang bugil. Yang penting bisa main gitar hebat, ha, ha, ha, ha..'.
Dengan kopi di tangan kanan dan tangan kirinya berada di pinggang, aku bersandar pada tiang pondok.
'Hei tukang ngamen, siapa yang minta celana dan baju bututmu itu? Kalau itu mah aku juga bisa dapat banyak di loak Pasar Rumput!', kutertawakan si Obet, sambil kudekati perlahan.
'Aku mau ini nihh..', ujarku sambil kutangkap benjolan di cawatnya dan kuremas.

Takut kubetot dan karena merasa sakit, Obet meraih tanganku.
'Heeii Oom..', nampak keterkejutannya atas kenakalan tanganku itu.
Dia memandangku dan berpikir.
'Oom senang gitu toh, Oom gay yaa, Oom homo yaa..?', dia setengah berbisik tetapi dengan tetap membiarkanku meremas kontolnya yang ternyata semakin membesar.
'Bolehh?, jelas wajahku memerah nanar karena birahiku.
'Bb.. bett..?'.

Dia tetap terbengong dengan bibirnya yang sedikit menganga. Membuatku tidak tahan lagi. Kudekatkan wajahku dan kucium bibirnya. Obet diam saja tidak bergerak, tidak menolak dan tidak membalas. Kami saling berdiam diri beberapa saat. Masing-masing terdiam. Sunyi. Lalu aku kembali mengambil kopiku dan kemudian kuminum. Kusodorkan cangkir kopi dari bibirku ke bibirnya. Dia menerimanya dan dia teguk kopi dari cangkirku.

'Obett..', tanganku kembali nekad meremas kontolnya.
'Ooohh Oomm, enak Oom', dia merasakan nikmatnya remasan tanganku pada kontolnya. Kuletakkan kopi ke lantai dengan tanpa melepas remasan tanganku, kemudian kupeluk Obet, kupagut bibirnya. Lidahku meruyak ke mulutnya. Nampak baru pertama kali bagi Obet, lelaki mencium bibirnya. Dia masih bersikap kaku. Tetapi hanya sesaat.

Kurasakan lidahnya mulai merespons ciumanku. Dia mencoba melumatnya dengan lembut. Kuraih kepalanya, bibirku menekan lebih dalam melumat bibirnya.
'Oom aku belum pernah gini nih Oom. Suka takut gitu. Tapi sama Oom sih nggak, kayaknya biasa aja'.
'Kemarin sebenernya aku udah agak curiga, kenapa Oom ngliatin aku terus. Tapi Oomnya nampak rapi dan cakep, jadinya aku cuekin aja'.
Kupagut lagi bibirnya dan dia hanya pasrah. Tangannya sudah memelukku, seakan berpegangan agar tidak lepas. Lidahnya sudah aktif pula. Tanganku meraba tubuhnya yang telanjang kecuali cawatnya yang masih tinggal. Kuremas bokongnya.

Untuk lebih merangsangnya, bibirku turun menjilati puting susunya, kemudian menyedot dan menggigit-gigit kecil.
Dia mengerang, 'Aacchh, Oomm enakk sekali..'.
Kuhentikan jilatanku. Aku ingin memberinya kesempatan untuk mengembangkan daya khayalnya akan nikmatnya birahi antara sesama pria. Kuraih gitarku, kupetik kembali 'Romance d'amour' tadi. Dia duduk sambil tersenyum-senyum. Kali ini nampak di bola matanya yang hitam pandangan yang menerawang jauh. Entah apa yang sedang merebak dalam pikirannya.

Kuajarkan basic gitar yang pernah kudapatkan dari Sekolah Gitar YMH di Jakarta. Mulai dari cara memegang gitar. Posisi tangan saat memetik. Posisi kaki dan di mana gitar seharusnya ditumpangkan, juga beberapa kunci accord. Dia mencoba-cobanya. 'Pelajaran' pertama kami akhiri dengan spermanya yang muncrat-muncrat di mulutku. Kontol Obet memang tidak terlampau besar, tetapi keras sekali hingga saat ngaceng seluruh batangan serta kepalanya berkilat-kilat menahan aliran darah yang menyesakinya.

Dia katakan bahwa nikmatnya sedotan mulutku mengalahkan vagina pacarnya. Sedotan dan jilatan mulutku memberikan kenikmatan yang sangat 'exciting' pada kontolnya. Dia juga bertanya apakah aku tidak jijik menelan spermanya. Kukatakan padanya bahwa untuk cowok sekeren dia, spermanya pasti enak. Dia hanya tersenyum saja mendengarnya.
'Kontol Oom masih ngaceng nih. Pengin dikeluarin dong?!'.
'Yaa, ntarlah khan masih banyak waktu, Oom nggak buru-buru kok', jawabku.

Bersambung . . . .