Kami sudah berada di dalam kamar. Sejenak Pak Gun menebar pandangan ke sekeliling ruangan. Padahal tak ada yang aneh di situ. Lay out ruang tidur di mess ini memang tak bisa kuatur lagi sesuai dengan seleraku. Karena penataan ruangannya telah dibuat sesuai dengan standar mess yang telah ditetapkan. Interior dan furniture yang ada modelnya tampak kuno, gaya tahun 70'an. Segala yang ada di situ tampaknya sudah terpaku di tempatnya masing-masing dan harus tetap seperti itu. Sangat konservatif. Satu-satunya barang yang terlihat modern hanyalah pesawat telepon yang berada di atas meja kecil di samping ranjang.

"Kok Bapak tahu kalau di sini ruanag tidurnya?" tanyaku begitu kami sudah berada di dalam kamar tidur.
"Lho? Saya kan Kepala Mess di sini!" sahutnya dengan gaya sok angkuh. Aku baru sadar kalau Pak Gun memang kepala mess. Wajar kalau dia tahu seluk beluk lingkungan di sini.
"Bapak pernah tidur di sini?" tanyaku lagi
"Ya. Beberapa saat lagi.." sahutnya bercanda sambil mendesak tubuhku ke arah ranjang. Dengan gerakan perlahan Pak Gun mendorongku hingga terjatuh dan tubuhku terpantul-pantul oleh pegas ranjang.

Aku langsung mengatur diriku sedemikian rupa. Tapi belum juga kuperoleh posisi yang enak, tubuh Pak Gun yang gempal itu langsung menindih dan menggelutiku dengan semangat. Aku hanya bisa memeluknya erat-erat, dan kubelitkan kakiku ke pinggangnya. Seolah aku ingin merengkuh seluruh tubuhnya yang kencang dan padat itu.

Lama kami saling bergulat seperti itu. Mulutnya liar dan nakal. Menjilat dan mengisap apa saja yang ditemuinya. Sesekali ia menggigit nakal di bagian-bagian tertentu tubuhku yang cukup sensitif. Nafasnya ngos-ngosan tapi tak berusaha menghentikan serangannya.

Pak Gun memang termasuk laki-laki yang sudah berumur. Tapi latar belakang kehidupannya yang selalu berhubungan dengan kemiliteran dan olah raga, tampaknya telah memberi pengaruh positif pada penampilan fisiknya. Penampilannya sehari-hari selalu tampak segar dan energik. Badannya masih tegap dan gagah, walaupun ukuran perutnya tak bisa lagi dibilang langsing, tapi terlihat cukup padat dan tidak buncit. Untuk orang seumur dia, aku berani memberinya nilai minimal delapan. Meskipun agak botak, tapi ia punya wajah yang ganteng.

Kini kulihat ia sesekali mengusap keningnya yang mulai ditumbuhi titik-titik keringat. Sehingga terasa basah dan licin ketika telapak tangan itu digunakan untuk meremas-remas milikku di bawah sana. Remasan tangan itu makin lama makin terasa lengket, entah karena sudah hilang kelembabannya atau barangkali sudah tercampur oleh lendir bening yang mulai keluar dari kemaluanku. Tapi kelengketan itu justru menimbulkan sensasi tersendiri. Rasanya kesat tapi nikmat. Ditambah lagi dengan gerakan jari-jari Pak Gunawan yang ternyata cukup trampil dalam memijat-mijat.

Sebenarnya siang itu udara di luar sedang panas-panasnya. Namun entah kenapa ruangan di sini terasa sejuk. Barangkali karena ini bangunan kuno sehingga bisa meredam hawa panas dari luar sana. Atau barangkali suasana hatiku yang saat ini sedang mencair oleh kemesraan yang diberikan Pak Gun. Hari-hari kemarin yang penuh emosional, untuk sementara dapat aku lupakan.

Kulupakan Bahar karena emosinya. Kulupakan dia dengan segala kemarahannya. Kulupakan Bahar karena bibir Pak Gun kini mulai menelusuri leher dan telingaku. Dan aku makin lupa karena bibir Pak Gun kini telah sampai ke bagian dadaku dan kemudian mengisap pucuk puting susuku. Aku menggelinjang karena sangat kegelian.

Dan ketika isapan itu berpindah ke wilayah sensitif di sekitar bawah perutku, maka segala tentang Bahar pun benar-benar tak bisa kuingat lagi. Karena di benakku kini hanya ada rasa nikmat yang sangat tinggi yang diciptakan oleh mulut Pak Gun di bawah sana. Apalagi dia tak hanya mengisap, tapi juga menjilat, dan selalu diakhiri dengan sedotan yang kuat. Suara desahan dan lenguhan protes yang keluar dari mulutku tak digubrisnya. Akhirnya kubiarkan saja ia melakukan apa saja yang ingin dilakukannya di bawah sana.

Pikiranku kembali berkecamuk, bahwa Pak Gun sudah lama tak melakukan kegiatan oral seks seperti ini. Bukan hanya karena istrinya tak mau melakukan kegiatan itu. Tapi Pak Gun juga tampaknya tak pernah atau sudah lama tak melakukannya kepada laki-laki lain. Karena saat ini ia tampak sangat 'lapar' dan benar-benar lahap. Kedua kakiku sampai kewalahan karena terus dicengkeram olehnya, agar aku tak menendang-nendang akibat kegelian.

"Sudah.. Pak.. Sudah.." aku kembali memprotes. Tapi ia tetap tak menghiraukan. Bahkan serangannya kini makin ke bawah, mengarah ke kedua kantung pelirku. Aku tersentak ketika ia mulai menguluminya. Ah!

Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Diam dan kututup mata. Kucoba untuk tak merasakan segala yang diperbuat. Namun kelaparannya ternyata mengalahkan segala usahaku untuk mengendalikan diri. Akhirnya aku hanya bisa memberinya semangat dengan mengusap-usap kepalanya yang botak seksi itu. Rambut ikalnya tampak awut-awutan dan basah oleh keringat. Aku tak tahu lagi bagaimana wujud milikku kini selama 'dikunyah-kunyah' olehnya. Pasti sudah basah belepotan air liurnya.

Baru ketika nafas Pak Gun sudah kepayahan, ia menghentikan semua itu. Perlahan-lahan ia menarik kepalanya dari daerah selangkanganku. Lalu tubuhnya kembali menindihku. Matanya memandang sayu. Nafasnya dihela satu-satu. Aku ikut-ikutan menghela nafas.

"Boleh 'kan minta sekali lagi? sudah lama saya tak melakukan ini.." katanya sambil mengusap bibirnya yang sedikit belepotan oleh cairan.
"Doyan ya.." balasku sambil mencubit dadanya yang gempal penuh bulu itu.
"Hmm.." Pak Gun hanya tersenyum pendek, lalu mulai melumat lagi.

Ia masih asyik di bawah ketika kuminta posisinya agar lebih naik lagi, sehingga pinggulnya berada di atas dadaku. Semula Pak Gun tak mengerti apa mauku, sampai tanganku tiba-tiba sudah menyambar batang miliknya dan langsung kujejalkan ke mulutku sendiri. Ingin kubalas semua perbuatannya tadi. Aku kini dalam posisi telentang, sementara ia dalam posisi jongkok di atas dadaku.

"Ooohh.." hanya itu yang keluar dari mulutnya begitu lidahku mulai menyentuh bagian kepalanya yang membonggol bagai jambu air itu.

Kurasakan pinggulnya mulai meliuk-liuk mengiringi lumatanku. Kini tidak hanya 'oh' saja yang keluar dari mulutnya, tapi segala desisan, lenguhan dan sesekali teriakan kecilnya memberi semangat padaku untuk melakukannya lebih gencar.

Ketika gerakan Pak Gun sudah mulai terarah, aku mulai bisa melepas genggaman tanganku pada batang kemaluannya dan selanjutnya aku bisa dengan bebas mengarahkan kedua tanganku ke bagian pantatnya yang padat. Kuremas kedua bongkahan itu sambil mulutku terus mengelamut, menerima serangan-serangannya yang makin ritmis. Sesekali jari-jariku kuselipkan ke celah di tengah bukit pantatnya sehingga membuatnya kegelian dan menimbulkan jeritan tertahan dari mulutnya. Dan lama-lama jeritan itu berubah menjadi teriakan dan erangan. Entah karena latar belakang militernya atau karena sebab lain, suara 'ugh ugh' Pak Gun terdengar bagai tentara tengah latihan berbaris. Berat dan menghentak-hentak. Seolah memberiku aba-aba dan semangat pada apa yang sedang kuperbuat.

Tak lama kemudian aku mulai merasakan ia mau mencapai puncak. Batangnya terasa makin membesar dan padat mengencang. Ada sedikit rasa asin di ujungnya. Perlahan-lahan kuloloskan batang kemaluannya dari jepitan mulutku.

"Heehh..?" Pak Gun heran dengan yang kulakukan. Mulutnya ngos-ngosan sambil matanya memandangku kebingungan.
"Kenapahh.. Haah..?" sambungnya masih penasaran.
"Nggak pa-pa" jawabku enteng,"Takut kalau-kalau Pak Gun kepayahan" lanjutku.
"Hei.. Biar sudah tua begini, Bapak masih kuat lho.." katanya sambil memintaku kembali untuk mengisap miliknya. Diacungkannya batang kemaluannya ke arahku sambil diangguk-anggukkannya. Aku tersenyum saja melihat ulahnya yang kayak anak kecil itu.

"Emang umur Pak Gun berapa sekarang?"
"Kenapa?"
"Sudah enampuluh sembilan belum?"
"Kenapa? Kok enampuluh sembilan?"

Aku tertawa mendengar Pak Gun bingung dengan pertanyaanku itu. Tapi begitu mendengar ketawaku, dia langsung nyambung dengan apa yang kumaksud. Ia tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Telunjuknya bergerak-gerak menunjuk ke arahku.

"Kamu memang nakal!" katanya sambil segera mencengkeram tubuhku.

Segera diaturnya posisi sedemikian rupa sehingga ia telentang di bawah dan disuruhnya aku merangkak mengangkanginya tepat di atas wajahnya. Ia mengerti kalau aku mengajaknya untuk main 69..

"Kamu memang nakal!" berkali-kali Pak Gun mengatakan itu sambil terus mengatur posisi kami agar bisa melakukannya dengan enak.

"Ehhmm.. Mmmhhmm.." guMamannya keluar begitu ia melahap milikku yang menggantung bebas di atas wajahnya. Akhirnya Pak Gun bagaikan 'kebo nusu gudel', kerbau tengah menyusu ke anaknya. Mengulum, mengisap dan menjilat-jilat kehausan. Ramai sekali suara decap mulutnya. Gerakannya tampak riang sekali. Aku pun, dengan posisi merangkak, melakukan tugasku dengan sebaik-baiknya. Tapi gerakanku tampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh gerakan yang dibuatnya.

Lidah Pak Gun yang tebal dan kasar itu memilin-milin liar, terutama ke sekitar kepala kemaluanku. Rasa geli yang amat sangat mengakibatkan pantatku beberapa kali terangkat ke atas, tapi segera ditariknya ke bawah sehingga menyebabkan batang kemaluanku makin masuk ke dalam mulutnya. Menimbulkan rasa geli yang kemudian berubah menjadi rasa nikmat. Makin nikmat.. Nikmat, dan hanya nikmat..

Sejauh ini perkenalanku dengan Pak Gunawan sedikit banyak telah memberiku pengalaman baru. Aku memang jarang bergaul dengan orang yang umurnya jauh di atasku. Bukan apa-apa, karena jarang orang seumur itu yang punya selera dan cara berpikir sama dengan orang seumurku. Tapi Pak Gun lain. Ia punya cara pandang yang berbeda, lebih modern dan dinamis. Seleranya juga bagus. Belum lagi wawasannya. Dan untuk urusan seks, ia tampaknya juga cukup moderat. Seperti halnya yang terjadi siang ini. Ia mau melakukan apa saja dan mau diperlakukan apa saja.

Aku masih merangkak di atas tubuhnya sambil terus melamuti tugu Monas miliknya yang makin lama kurasakan makin hangat dan makin membesar saja. Mulut dan bibirku juga berusaha bermain-main di sekitar lipatan pahanya yang penuh rambut dan keringat itu. Kedua bola Adam miliknya berdenyut-denyut setiap kali lidahku mampir ke sana. Dan ketika aku mencoba melahapnya, kaki Pak Gun langsung berkelojotan, membuatku kewalahan. Kini gantian erangan protesnya tak kupedulikan. Aku terus mengerjai kantung zakarnya yang tebal padat itu. Beberapa bulu keriting yang tumbuh di sana sempat tercerabut oleh gerakan bibirku.

Lama kami bermain-main dalam posisi 69 ini. Aku kembali bertanya dalam hati, apakah Pak Gun belum pernah atau sudah lama tak melakukan posisi ini. Karena ia tampak bersemangat sekali. Decapan mulutnya masih terdengar dari bawah sana. Sementara tangannya tak bisa diam, bergerilya kesana-kemari. Pinggul dan pantatnya beberapa kali tersentak ke atas setiap aku memberinya sedotan yang kuat pada bagian kepala rudalnya. Nampak sekali ia sangat keenakan.

Makin lama sentakannya makin menggila. Padahal aku sudah tidak lagi melakukan rangsangan di daerah itu. Sementara di bawah sana gerakan mulutnya juga semakin liar. Membuatku tersengal-sengal tak karuan. Tampaknya ia sedang mendekati puncaknya. Dan terus terang, aku agak kewalahan mengimbanginya.

Dan ketika tangan Pak Gun tiba-tiba mencabut batang kemaluannya dari mulutku, maka sedetik kemudian muncratlah cairan hangat dan kental ke wajahku. Berkali-kali, seiring kocokan tangannya sendiri. Suara meracaunya terdengar tak karuan karena ternyata ia masih mengemut milikku di bawah sana, bahkan kini isapannya menjadi sangat kuat dan agak 'ngawur'. Aku sampai agak was-was kalau barangku sampai tergigit.

Akhirnya, karena rasa enak yang timbul akibat isapan-isapannya yang kuat itu, aku pun 'muncrat' juga dengan semburan yang kuat dan banyak. Pak Gun sengaja tak melepas milikku sehingga spermaku tumpah dalam mulutnya.

"Ooohh.. Oohh.. Ohh.." aku mengerang tak karuan ketika merasakan lidah Pak Gun menjilati batang kemaluanku yang kini seluruhnya berada di dalam rongga mulutnya.

Masih dalam posisi 69 itu, aku pun akhirnya mengimbangi perbuatan Pak Gun dengan menjilati seluruh batang miliknya yang masih berleleran sperma kental. Maka terdengarlah suara lenguhan yang saling bersahutan dari mulut kami berdua.

Harus kuakui, ada beberapa hal yang kurasakan berbeda ketika aku bermain cinta dengan Bahar dibandingkan dengan Pak Gun. Meskipun secara fisik Bahar sekilas tampak kasar, tapi dalam bercinta ia sering berlaku lembut dan romantis. Sedangkan Pak Gun yang sehari-harinya tampil santai, kalem; ternyata gaya bercintanya lebih liar dari yang kubayangkan.

Nafas kami masih menderu. Beberapa kali Pak Gun kulihat menarik nafas panjang. Posisiku masih merangkak tapi sudah berbalik menghadap ke wajahnya. Dan yang bisa kulakukan saat itu hanya menatapnya lekat-lekat. Mengamati wajahnya yang nampak kuyu kepuasan tapi tetap kelihatan ganteng. Dan garis-garis kematangan di wajahnya itu makin menambah kegantengan dan kewibawaan khas bapak-bapak. Dahi dan kumisnya tampak basah penuh keringat.

Tempat tidurku pun kini menjadi basah penuh dengan keringat. Di beberapa bagian tampak bercampur dengan bercak-bercak cairan kental berwarna putih. Cairan birahi milik kami berdua. Inilah pertama kali aku bermain cinta di tempat tidur mess ini. Kegiatan seks terakhir yang pernah aku lakukan di kasur ini adalah sewaktu aku melakukan 'phone sex' dengan Bahar (baca 'Oase' sebelumnya). Ah, Bahar.. Kenapa bayangan dia muncul lagi dalam suasana seperti ini.

Aku lalu berusaha menepis pikiran itu dengan menindih tubuh Pak Gun. Kubenamkan kepalaku ke dalam dadanya yang kini sudah penuh dengan keringat. Dipeluknya kepalaku sambil diciuminya. Sebagian ceceran spermanya yang menempel di wajahku kini berpindah ke dadanya yang basah. Oh, bau badan di dada laki-laki itu kini jadi sangat enak, bercampur antara keringat dan aroma khas sperma. Aku jadi semakin betah bersandar di situ.

Cukup lama kami saling berpelukan seperti itu. Beberapa saat kemudian tubuh Pak Gun berguling ke samping. Telentang menggelosoh.

"Ooohh..!" mulutnya mendesah panjang. Tampaknya ia puas sekali.

Wajahnya lalu berpaling ke arahku. Diusap-usapnya wajahku seolah ingin membersihkan sisa air maninya yang tadi tumpah di pipiku.

"Har, sudah lama saya tak mengalami orgasme seenak ini" katanya
"O ya?" sahutku

Pak Gun akhirnya bercerita bahwa sebenarnya dulu ia pernah punya pengalaman oral seks sewaktu tinggal di asrama militer. Tapi itu dulu. Ketika masih bujangan. Dan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan teman satu angkatan.

Menurut cerita Pak Gun, kamar mandi di barak militernya waktu itu dibuat untuk umum, sehingga para calon perwira biasanya mandi berbarengan. Dari situlah Pak Gun bisa mengenal salah satu temannya yang mempunyai kecenderungan sama dengan dirinya. Awalnya Pak Gun heran, karena setiap kali acara mandi bersama selesai, ada salah satu temannya yang selalu selesai paling akhir. Pada suatu kesempatan Pak Gun sengaja keluar belakangan dari ruang mandi, hingga akhirnya tinggal mereka berdua saja yang di ruangan itu. Awalnya teman itu merasa risih dengan kehadiran Pak Gun di situ. Tapi begitu melihat sikap Pak Gun yang nampaknya bersahabat, ia akhirnya bersikap biasa.

Belakangan Pak Gun tahu bahwa temannya itu ternyata suka melakukan onani seusai mandi, karena ia sering terangsang bila melihat tubuh perwira lainnya selama acara mandi bersama. Pantas selama ini ia selalu mandi dengan tetap memakai celana dalam. Memang, di barak itu pada umumnya para perwira mandi bertelanjang bulat, termasuk Pak Gun. Hanya ada beberapa rekan seangkatannya yang tetap bercelana dalam. Tergantung kebiasaan masing-masing.

Dari pertemuan di kamar mandi itulah akhirnya Pak Gun dan temannya itu saling mengenal dan ternyata mereka mempunyai keinginan yang sama. Maka mulailah terjadi pengalaman seks di antara mereka. Mulai dari saling bermasturbasi hingga oral seks! Semua dilakukan di ruangan itu, di suatu sudut kamar mandi yang cukup tersembunyi dari pandangan orang lain. Tentu saja mereka melakukannya usai acara mandi bersama.

"Nggak ada teman lain yang curiga?" aku penasaran bertanya.
"Nggak ada. Kami harus sangat hati-hati. Karena peraturannya sangat ketat" kata Pak Gun menerangkan.

Dan itulah pengalaman terakhir Pak Gun 'main-main' dengan laki-laki. Karena akhirnya mereka harus pisah sesuai dengan penempatan tugas masing-masing. Dan sampai akhirnya menikah, Pak Gun tidak pernah lagi mempunyai pengalaman seks dengan sesama jenis. Hingga bertemu dengan aku. Di mess ini. Lalu di kolam renang kemarin. Dan di siang hari ini. Hmm..

"Setelah itu, kalau Pak Gun lagi kepingin sama laki-laki, gimana caranya?" aku mulai menyelidik.
Agak lama ia terdiam mendengar pertanyaanku itu. Sebelum akhirnya menjawab, "Sulit memang.."
".. Kalau untuk sekedar kebutuhan seks, sebenarnya banyak yang mau. Tapi saya lebih senang dan merasa aman melakukannya dengan orang yang saya kenal, yang baik. Seperti kamu, Har" aku terdiam menyimak penjelasannya, "karena saya nggak mau cari masalah.." katanya lebih lanjut.
"Memangnya Pak Gun yakin bahwa saya orang yang baik?, dan tak akan menimbulkan masalah?" aku bertanya dan tertawa ringan.
Ia mengangguk sambil tersenyum, "Sudah terbukti kok. Dan saya kan bisa melihat dengan mata tua saya.."
"Memangnya Bapak sudah tua?" lagi-lagi aku ketawa dan mencoba menggodanya.
"Umur sih boleh tua. Tapi untuk urusan hasrat dan kemauan, boleh dibuktikan!" sahutnya tak mau kalah.
"Kemauan apa kemaluan?" aku semakin meledek

Pak Gun tergelak-gelak mendengar candaku. Tubuhnya lalu condong ke arahku dan berbisik, "Memang mau dibuktikan lagi, hmm?" suaranya pelan, kebapakan. Aku diam tak bereaksi.

Bibir Pak Gun lalu menciumku lembut, "Mau dibuktikan lagi?" ia mengulang pertanyaannya di sela-sela kecupan. Aku tak menjawab tapi malah membalas sentuhan-sentuhan bibirnya yang hangat itu. Kupeluk lehernya dan kami akhirnya tenggelam dalam ciuman yang mesra.

Siang itu akhirnya kami mengulang lagi perbuatan-perbuatan yang katanya 'hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa'. Pak Gunawan ternyata memang masih kuat, baik dari segi hasrat, kemauan maupun kemaluannya..

Tamat