"Dengan bokong sepadat ini.. Dan.." lanjutnya sambil tangannya terus merayap ke depan melewati lipatan pahaku, kemudian berhenti menggenggam benda bulat panjang milikku yang sudah tegang membesar. Dan..

"Dengan pistol segede ini.." katanya sambil meremas gemas, ".. Aku tak rela kalau semua ini menjadi milik orang lain.."

Sambil berkata begitu, mata Bahar terus menatapku, serius. Mata dan alis mata itu laksana burung elang. Tajam dan menusuk. Aku sampai menelan ludah membalas tatapannya.

"Hmm.." kataku kemudian sambil menghela nafas, "Apakah Abang juga bisa menjaga 'ini' agar tidak bandel?" balasku sambil meremas miliknya yang ukurannya juga sudah membesar.

"Siapa yang mau dengan barang seram begini" katanya sambil menyentakkan pantatnya ke depan sehingga batang kemaluannya ikut maju dan hampir terbetot keluar dari genggamanku.

"Justru yang seperti ini yang dicari orang" kataku makin gemas, "Awas kalau dipakai macem-macem!"
"Terus bagaimana caranya supaya tak bandel?" logat Sangirnya mulai keluar.
"Ditinggal saja di sini" kataku sambil menahan tawa.
"Boleh!, tapi.. Bagaimana caranya?" balasnya tak mau kalah.
"Caranya.., simpan saja di sini.." kataku sambil menarik kantung zakarku ke atas sehingga tampak celah kecil di tengah-tengah dua bukit pantatku.

Muka Bahar langsung berubah merah. Beberapa kali kudengar ia menghela nafas. Hidungnya pun mulai memperdengarkan suara dengusan. Bagai banteng yang siap bertarung. Rupanya aku sudah membangunkan hasrat si banteng.

Bibirnya kemudian menyungging senyum dan kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Rupanya guyonanku telah menyadarkannya bahwa semalam dia masih punya hutang padaku. Dan siang ini aku ingin semua hutangnya dibayar tuntas!

Posisiku masih duduk di pinggiran bak mandi, setinggi pinggul Bahar yang juga masih berdiri mengangkang di antara kedua gempal pahaku.

"Bagaimana?" kataku mencoba memecah kebisuan.

Bahar rupanya sudah tak mau berbasa-basi lagi. Dengan sigap, diangkatnya kedua pahaku ke atas melewati kedua bahunya, sehingga selangkanganku kini terpentang lebar dan punggungku rebah menggantung hampir menyentuh permukaan air di bak mandi. Aku agak kewalahan dan dengan kedua siku tanganku aku mencoba bertumpu pada tepian sudut yang lain.

Sejenak kemudian mulai kurasakan lembutnya busa sabun yang dioleskan ke seluruh daerah di bawah kantung pelirku. Rupanya Bahar mencoba membasuh daerah itu dan sekaligus ingin merangsangku dengan menggunakan sabun mandi. Makin lama busanya makin banyak dan meleleh, menetes-netes ke lantai kamar mandi. Suara tetesannya berpacu dengan suara desahan kami berdua.

Diperlakukan seperti itu, ingatanku langsung melayang pada kisah yang pernah diceritakan Bahar. Tampaknya dia ingin mengulang pengalamannya ketika pertama kali mengenal anal seks dengan seorang pelaut Portugis (Baca 'Oase' sebelumnya). Hanya kali ini, akulah sebagai si pelaku pengalaman pertama itu sedangkan dia gantian bertindak sebagai 'si Portugis'.

Bagaimana detail ceritanya antara Bahar dan Portugis, aku lupa. Namun usapan jari-jarinya seperti memandu kembali ingatanku. Dimulai ketika jari tengahnya mulai menelusup, keluar masuk memperlonggar jalan yang akan mengantarnya ke kenikmatan tak berujung. Kemudian telapak tangan yang lainnya kurasakan terus sibuk mengusapkan busa sabun ke daerah selangkanganku, lalu bergerak naik ke kedua bola adam milikku dan berakhir di sekujur batang pejalku yang kini sudah sangat keras. Gerakannya kemudian turun lagi ke bawah, mengusap lagi ke atas, mengurut, memijat demikian seterusnya. Aku benar-benar terangsang hingga badanku beberapa kali bergidik cukup keras.

Tiba-tiba rasa segar mengguyurku ketika Bahar menuangkan air untuk membasuh seluruh busa sabun di bagian bawah sana. Tampaknya bagian tubuhku yang sensitif itu sudah dianggap 'siap pakai' olehnya. Kuamati dia mengatur kembali posisi pahaku dan mulai mengambil posisi ancang-ancang. Ia tampak membungkuk dan tubuhnya pelan-pelan bergeser ke bawah. Aku siap menerima tusukannya..

Semula kupikir Bahar akan segera memulai permainan yang sebenarnya. Ternyata tidak. Karena kepalanya malah dibenamkan di antara kedua pahaku yang kini sudah bersih itu. Lidah dan bibirnya menjalar kian kemari dengan liarnya, untuk akhirnya terkonsentrasi bermain-main di sekitar celah pantatku. Segera saja rasa geli dan nikmat menyergapku di bawah sana dan berujung pada teriakan kecil di mulutku.

Kenikmatan seperti inilah rupanya yang pernah dialami Bahar ketika dipaksa oleh si Portugis dulu. Rasa nikmat terus menyerangku setiap kali syaraf yang lembut dan sensitif di daerah itu bertemu dengan lidah Bahar yang tebal, hangat dan basah. Apalagi Bahar tak pernah mau hanya berbuat apa adanya. Selalu memperlakukan aku lebih dari yang aku inginkan.

Beberapa kali tubuhku menggelinjang kenikmatan dan hampir terjatuh ke bak mandi. Namun tangan Bahar selalu saja sigap menahanku tanpa mengganggu keasyikannya bermain lidah di bawah sana.

"Bangghh.. Oohh.. Bannghh.." mulutku mulai meracau. Kenapa dia tak segera memulai. Kenapa juga aku tak memintanya. Suara desahanku pun makin kerap terdengar. Gemanya muncul di dinding-dinding kamar mandi. Makin lama desahanku berganti menjadi desisan dan rintihan-rintihan yang makin lama makin tak teratur iramanya, mengikuti keliaran gerakan mulut dan lidah Bahar di bawah sana.

Ia sama sekali tak mempedulikan rintihanku. Mulutnya tetap sibuk melamuti mulut kecilku yang ada di tengah bongkahan pantatku itu. Bahkan kini jari-jarinya ikut dikerahkan. Padahal rasa-rasanya aku sudah siap menerima kehadiran tubuhnya. Tapi biarlah ia menikmati semua permainan ini. Lagi pula, bukankah ia lebih berpengalaman dalam hal ini dan tahu kapan harus berhenti dan kapan harus memulai.

Di luar kesadaranku yang tertutup nafsu birahi, tiba-tiba wajahnya kurasakan sudah berada dekat di samping kepalaku.

"Kita ke kamar saja.." bisiknya agak terengah-engah.

Tanpa menunggu jawabanku, dibopongnya tubuhku ke kamar menuju tempat tidur. Langkahnya agak tergesa-gesa. Aku sendiri tak sempat mikir apa-apa. Tahu-tahu tubuhku sudah terbanting telentang di atas kasur.

"Aku siap Bang.." kataku lirih tapi mantap, setengah memaksa agar dia segera memulai.

Bahar langsung naik ke kasur dan mengangkangiku. Otot vitalnya sudah begitu meradang, tegang mendongkak ke arah pusarnya. Dengan cekatan tangannya mengatur posisi kakiku dan dengan satu tangan yang lain ia mulai mengarahkan sasaran. Ia sangat cekatan. Dan sebelum aku menyadari gerakan berikutnya, ia langsung menghujam..

Aku terpekik, bukan karena sakit atau kaget, tapi jejalan batang kemaluan Bahar demikian terasa gesekannya. Ini untuk pertama kali aku benar-benar menikmati tubuh Bahar dalam arti yang sesungguhnya. Ketika bagian tubuhnya itu makin masuk ke dalam, aku merasa benar-benar menjadi bagian dari hidupnya..

Terlalu banyak hal yang sulit untuk kulukiskan. Semuanya terasa lebih. Terasa penuh. Terasa menggesek. Semuanya terasa nikmat. Semuanya terasa intens..

Bahar mendesak. Aku menjepit.

Dia mengulir. Aku menggeliat.

Aku menggoyang. Bahar menyodok hingga ke pangkal.

Aku melenguh merintih. Dia memekik tertahan..

Siang itu akhirnya kami habiskan dengan bercinta sepuas-puasnya. Cuaca yang agak panas siang itu makin membuat keringat berlelehan. Namun itu semua tak mengurangi kegairahan kami berdua untuk terus memuaskan nafsu birahi yang ada di tubuh kami, hingga meraih puncak kenikmatan yang total.

Orgasmeku datang agak cepat dari biasanya. Saat itulah aku baru mengalami puncak birahi yang sungguh-sungguh berbeda dari yang sudah-sudah, dimana orgasmeku kali ini datang pada saat bagian tubuh Bahar yang paling kudambakan benar-benar menyatu dan berada dalam cengkeraman tubuhku.

Tak kusangka, batang yang besar pejal itu terasa lebih nikmat ketika meluncur-luncur dalam jepitan liang pelepasanku. Setiap geserannya memberikan jutaan rasa nikmat pada milyaran syaraf di sekujur tubuh. Apalagi Bahar memperlakukan aku dengan berbagai cara dan teknik yang belum pernah dilakukannya, sehingga membuatku terlambung ke langit-langit birahi yang sangat tinggi dan tak terjangkau oleh angan-anganku selama ini.

Oh, inikah kenikmatan itu? Yang banyak didambakan oleh para lelaki homoseksual. Tak kusalahkan Bahar bila dari dulu ia sering ngotot memintaku untuk melakukan ritual anal seks seperti ini.

Udara di luar masih terik. Dan kini untuk yang kedua kali Bahar melaju di atas tubuhku. Aku hanya bisa pasrah menikmati serangan rudal miliknya yang meluncur-luncur keenakan. Menikmati tekanan-tekanan sepanjang dinding syarafku yang denyutannya kadang tak terkendali. Kunikmati pula suara lenguhan Bahar yang bagai seekor kerbau liar terus meliuk-liukkan tubuhnya yang kekar dan basah mengkilat oleh keringat. Suara Bahar yang ber 'agh-ugh-agh-ugh' disela pacuannya, kadang diselingi dengan desisannya yang terdengar seperti orang tengah kesakitan.

Aku sendiri terus telentang dengan kedua kaki menekuk ke atas dicengkeram oleh tangannya. Pahaku berkali-kali harus berbenturan dengan perut Bahar yang terus bergerak maju mundur seiring ayunan pinggulnya. Sementara di bawah sana terdengar suara yang ramai bagi kecipak air laut menerpa sela-sela karang.

Kadang-kadang bila gerakannya agak reda, tangannya sesekali berusaha mengusap-usap permukaan batang penisku dan meremas-remasnya, hingga rasanya makin membesar dan mengeras. Mendapat rangsangan di dua tempat sekaligus tak jarang membuatku sampai mengerang-menggelinjang. Sungguh, hujaman di sela selangkanganku ditambah dengan kocokannya pada batangku bukanlah suatu rangsangan yang gampang kuatasi. Tak jarang aku sampai menjambaki rambut ikalnya yang basah oleh keringat. Dan bila Bahar tiba-tiba sengaja membuat sentakan pada pusat selangkanganku, maka seluruh tanganku akan membalasnya dengan mencengkeram punggungnya kuat-kuat. Ronde kedua ini ia bermain dengan energi yang tak kalah gencarnya dengan yang pertama.

Semua itu kembali mencapai penuntasannya ketika Bahar mulai mengatur posisiku sedemikian rupa sehingga tusukannya menjadi lebih leluasa, lebih dalam dan lebih bertenaga. Sementara aku pun dapat mengimbanginya dengan mengatur konstraksi otot cincin di sekitar liang pelepasanku sehingga denyutannya seolah seperti memijat dan menyedot-nyedot.

Tangan Bahar lalu mulai meng-onani milikku dengan genggaman yang kuat dan cepat. Tubuhnya sendiri terus berayun naik turun secara ritmis bagai tarian suku primitif. Dan ketika badanku mulai meliuk kesana-kemari tak terkendali karena desakan-desakan nafsu yang mencari penyalurannya, maka mulailah Bahar mengambil ancang-ancang menuntaskan 'tarian sex'-nya dengan melakukan satu dua kali hujaman yang panjang namun bertenaga.

Seluruh kamar telah menjadi sebuah arena teriakan dan lenguhan kami berdua. Dan kami akhirnya benar-benar berteriak keras ketika cairan birahi milik kami berdua muncrat tak terkendali. Berkali-kali. Seolah bersahut-sahutan.

Bahar meningkahi orgasmeku dengan terus menerus mengocok milikku sehingga air maniku memancar dengan kuat dan memuncrat membasahi tubuhku. Bau khas cairan kental itu segera merebak kemana-mana.

Sementara di pangkal kemaluanku, aku dapat merasakan sodokan-sodokannya mengalirkan rasa hangat dan menjadi lebih licin akibat tumpahan cairan spermanya di sepanjang celah pantatku. Suara kecipak pun makin keras terdengar seiring dengan tusukannya itu yang makin lama makin tak beraturan.

Untuk beberapa saat aku telentang penuh keringat. Sementara di atasku Bahar berusaha menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya. Ia masih sesekali tersengal sambil sesekali menggerak-gerakkan pantatnya, menikmati sisa-sisa denyutan orgasmenya.

Bahar lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Diciuminya dahiku yang basah penuh peluh itu. Nafasnya masih memburu. Begitu pun aku. Matanya tampak sayu namun penuh kepuasan. Kasur terlihat basah di sana-sini. Basah oleh keringat dan bercampur dengan ceceran cairan birahi milik kami berdua.

"Mas.." katanya sambil merangkul leherku.
"Hmmh..?" sahutku seraya menciumi pipinya.
"Sudah nggak marah lagi 'kan?"
"Marah?" aku agak keheranan."Marah karena apa?"
"Sudah ikhlas 'kan?" ia bertanya lagi
"Apaan sih Bang?!" aku makin penasaran dengan kalimat-kalimatnya.
"Minggu depan 'kan Abang sudah harus berangkat.." katanya setengah berbisik.

Ya ampun! Pikiranku kini terbelah menjadi dua: bahwa kenikmatan hari ini terlalu indah kalau hanya kuharapkan sebagai sebuah mimpi, tetapi akan terasa pahit jika kuharap ini adalah sebuah kejadian nyata.

Tamat