Siang itu, aku berjalan tertatih-tatih dengan perasaan tak menentu menuju ruang tunggu seorang dokter. Saya mendapatkan alamatnya dari temanku. Katanya dokter ini hebat sekali dalam ilmu pengobatan. Dan saat itu aku memang benar-benar membutuhkan dokter yang hebat. Anusku berkedut-kedut agak nyeri. Semua gara-gara ulah salah satu teman gayku. Kami bertemu, merasa cocok, dan berakhir dengan seks yang luar biasa. Namun karena kontolnya besar, anusku dihajarnya habis-habisan sampai berdarah-darah. Dia memang jago sekali dalam hal mengentot. Aku dibuatnya kehabisan napas. Namun aku sangat menikmatinya. Sudah hampir satu minggu berlalu namun anusku masih juga tetap sakit, terasa seperti terbakar api. Karena takut infeksi, saya memberanikan diri untuk menemui seorang dokter. Jadi itulah awal mulanya bagaimana saya bisa sampai duduk di ruang tunggu itu.
Jumlah pasien pada siang itu sedikit sekali, hanya ada aku, pasien satu-satunya di ruangan itu. Seorang pria muda yang seksi dan tampan duduk di depan ruang praktek. Dia adalah asisten sang dokter dan bertugas untuk mendaftar para calon pasien. Pakaiannya rapi dan tampangnya oke. Sekilas wajahnya agak mirip dengan wajah Irgi, pembawa acara Indonesian Idol. Tapi pemuda ini berambut cepak dan tampak ada brewok tipis tumbuh di rahangnya. Sungguh tampak seksi dan maskulin. Aku harus berjuang keras untuk menjaga agar kontolku tidak tegang. Badannya memang tidak besar namun tampak kuat dan atletis. Tangannya kokoh sekali dihiasi otot dan urat. Sambil menunggu giliranku, diam-diam aku mencuri pandang ke arahnya.
"Nama Anda?" tanyanya, suaranya terdengar tegas namun seksi.
Aku hampir pingsan saat pemuda ganteng itu menatapku, matanya seolah-olah memanggilku untuk mendekat. Aku bergegas bangun dari tempat dudukku dan berjalan menghampirinya. Kukatakan padanya namaku dan juga semua informasi lainnya yang dia minta. Pria muda itu segera mencatatnya di buku daftar pasien. Dan tiba-tiba dia menanyakan pertanyaan yang membuatku tidak nyaman.
"Keluhan Anda?" Wajahku memucat. Aku merasa malu sekali untuk memberitahukannya bahwa anusku perih akibat disodomi. Tapi aku tak punya pilihan lain.
"Mm.. Anu.. Pantat saya perih," jawabku pelan, kepalaku tertunduk malu.
"Kamu homo? Abis dientot ama cowok?" tanyanya kembali sambil tersenyum mesum.
Tiba-tiba saja gaya bicaranya berubah mesum. Kata-kata kotor keluar begitu saja dari mulutnya. Ditanya seperti itu, aku hanya terdiam, tak mampu berkata-kata. Dan tampaknya kebisuanku sudah merupakan jawaban yang memuaskan baginya. Pemuda ganteng itu hanya tertawa saja.
"Tenang, saya cuma bercanda, kok. Gak perlu khawatir. Saya sangat terbuka dengan para pria homoseksual. Sebenarnya banyak juga pria homoseksual yang sering datang ke sini. Jadi, aku sudah terbiasa." Dia tersenyum lebar, senang melihatku sempat kebingungan.
"Kapan-kapan mau nggak aku sodomi? Tapi aku bukan homo, loh," tambahnya lagi. Pria muda itu memang iseng!
"Silakan duduk dulu. Nanti kupanggil," sambungnya, masih tertawa. Aku mendadak merasa sangat bodoh telah mengira bahwa dia juga gay. Tapi dalam hati, saya berharap bahwa pemuda straight itu diam-diam menyukai pria homo.
Rasanya lama sekali, harus duduk menunggu di bawah tatapan sang asisten. Sesekali, dia menyuarakan siulan nakal seakan aku adalah obyek seks yang panas. Aku hanya berani menatapnya secara sembunyi-sembunyi. Pemuda itu memang sangat ganteng. Aku tak keberatan disodomi olehnya jika dia memang mau. Lima menit kemudian, namaku dipanggil. Pemuda itu membukakan pintu ruangan praktek sang dokter dan mempersilakanku untuk masuk. Sambil menahan perih di anusku, aku berjalan masuk ke ruangan itu. Dan tiba-tiba saja pemuda itu menepuk pantatku sambil mengedipkan matanya ke arahku. Astaga, sebenarnya dia juga homo atau hanya iseng saja? Namun aku tidak protes, malah aku sangat suka.
"Awas. Dokternya ganteng, loh," bisiknya, nakal. Setelah aku masuk, pemuda kembali ke mejanya setelah menutup pintu. Tinggallah aku di sana dengan sang dokter.
Begitu mataku melihat sang dokter itu, aku langsung terpesona. Usia dokter itu masih lumayan muda, mungkin di awal 30-an. Rambutnya terpotong pendek dan rapi, nyaris cepak. Wajahnya memancarkan aura kejantanan dan keseksian seorang pria sejati. Badannya tampak tegap di balik jubah dokternya. Saat dokter itu tersenyum padaku, aku nyaris pingsan!
"Kata asistenku, anusmu perih karena disodomi, ya?" Aku hanya mengangguk-ngangguk seperti orang bodoh. Namun keramahan dokter itu menenangkan hatiku.
"Silahkan buka pakaian Anda. Saya ingin Anda bertelanjang bulat, lalu duduk di ranjang pemeriksaan," katanya sambil sibuk mengambil peralatan yang akan digunakannya untuk memeriksaku.
Aku sebenarnya malu sekali, apalagi kontolku sedang tegang. Pakaianku mulai jatuh ke atas lantai, hanya tersisa celana dalam putih yang masih melekat di tubuhku. Tonjolan kontolku tampak sangat jelas, tercetak di bagian depan. Noda basah menghiasi bagian itu. Selain itu, ada pula bekas noda sperma kering yang sudah menguning. Wajahku memerah seperti tomat. Rupanya aku lupa mengganti celana dalamku dengan yang baru. Aroma sperma kering dan air seni mulai menyebar dari celana dalamku. Berhubung aku berdiri sambil membelakangi sang dokter, dia tak melihat tonjolan kontolku.
Namun tiba-tiba sepasang tangan yang kekar memegang pundak telanjangku dan kemudian memutar tubuhku. Semua terjadi sangat cepat sehingga setelah aku menyadarinya aku telah berdiri di hadapan dokter ganteng itu dengan tonjolan besar dan basah. Dia hanya tersenyum saja.
"Tegang ya? Gak pa-pa, kok. Itu tandanya kamu sehat. Sekarang, buka ya?"
Seperti boneka yang tak berdaya, aku membiarkan dia melucuti celana dalamku. Kontolku yang tegang langsung terekspos. Tanpa malu, batang kejantananku berdenyut-denyut dengan bangga di hadapan sang dokter.
"Wah, ukuran yang bagus," komentarnya.
Tiba-tiba saja tangannya melesat ke depan dan menggenggam kontolku erat-erat. Genggaman itu segera berubah menjadi belaian. Jantungku berdegup kencang, menahan gejolak nafsu birahi. Mataku terpejam agar aku bisa merasakan kehangatan dari sentuhan tangannya. Aahh.. Hangat sekali sentuhannya. Kontolku berdenyut-denyut dengan nikmat di bawah kendali belaian tangannya.
"Kamu benar-benar homo, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku membuka mataku dan kutatap wajahnya. Kulihat sorot matanya penuh dengan birahi. Saat dia melepaskan kontolku, aku merasa sangat kecewa. Ingin rasanya memintanya untuk memegangnya kembali.
"Naik ke atas ranjang. Ambil posisi merangkak seperti bayi dan hadapkan pantatmu ke arahku. Aku akan memerika anusmu."
Dengan agak kikuk, aku menuruti perintahnya. Berada dalam posisi seperti itu membuatku merasa sangat rawan untuk digagahi. Bayangkan saja. Seorang pemuda seksi seperti saya menunggingkan pantatku di atas ranjang agar dokter itu bisa memeriksa pantatku, seperti adegan di film porno homoseksual. Kontolku masih saja tegang, bergantung di selangkanganku. Di depanku adalah tembok putih, kutatap dengan pandangan kosong seraya menanti sang dokter melakukan tugasnya. Sayup-sayup kudengar suara sarung tangan karet dipakaikan pada kedua tangan dokter itu. Kemudian tiba-tiba kurasakan gel kental yang dingin dioleskan pada anusku. Aku meringis-ringis saat tangannya bersentuhan dengan anusku yang perih. Dan tanpa peringatan, jari sang dokter memaksa masuk ke dalam anusku.
"Aarrgghh!!" erangku. Sungguh sakit rasanya, seakan-akan aku kembali disodomi. Jari itu terasa gemuk dan panjang, mirip kontol!
"Oohh!!" erangku lagi. Namun, meskipun kesakitan, kontolku tetap ngaceng dan malah semakin ngaceng. Precum mulai mengalir keluar dari lubang kontolku, membasahi area kepala penisku.
"Aahh.." jeritku kali ini.
Dokter itu memutar jarinya hingga hal itu membuatku semakin kesakitan. Aku hanya dapat mengerang kesakitan sambil tetap mempertahankan posisiku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sakit. Namun, anehnya, rasa sakit itu malah membuatku semakin bergairah. Mungkin karena sakit yang kurasakan masih ada hubungannya dengan anus, ditambah lagi orang yang sedang memeriksa anusku adalah seorang dokter ganteng.
"Wah, anusmu bengkak. Pasti kontol yang masuk ke dalam pantatmu adalah kontol yang besar dan panjang," komentarnya.
Aku hanya meringis-ringis saja. Saat jarinya menyentuh prostatku, aku hampir terlonjak. Gelombang kenikmatan mendera tubuhku, memaksaku menuju jurang kenikmatan. Eranganku kembali terdengar saat jarinya menabrak prostatku lagi.
"Aarrgghh.. Hhoohh.." erangku.
Gairahku naik. Api nafsu membakar diriku. Kontolku berdenyut semakin keras, hampir saja memuncratkan pejuh keluar. Namun jari dokter itu malah semakin mengerjai prostatku. Tak ayal lagi, aku harus berjuang untuk menahan deraan kenikmatan. Memang nikmat sekali, namun sekaligus terasa menderita sebab aku tak boleh merayu dokter itu. Lain halnya jika dia juga homo. Tapi melihat tampangnya yang macho dan berotot, mana mungkin jika dia gay? Memang, pria gay tidak harus lemah lembut dan feminin. Di film-film porno homoseksual, diperlihatkan bahwa banyak pria gay yang macho serta berbodi aduhai, kekar bagaikan pahatan patung Yunani. Namun, aku sendiri belum pernah bertemu dengan pria gay yang bertubuh kekar.
Bersambung . . . .