Sungguh, sama sekali sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan menghirup udara kehidupan di balik terali besi yang disebut penjara. Apalagi, istilah penjara yang kukenal selama ini memberikan konotasi kejahatan, kekasaran, kegetiran, kemalangan, serta masa penantian pembebasan dari kungkungan rentang jarak dan waktu. Menjadi bagian dari rangkaian cerita-cerita yang lekat dengan masalah penegakan hukum dan perlindungan atau pengembangan kekuasaan.
Namun, yang kumaksud dengan pengertian penjara dalam cerita di sini bukan dalam artian secara definisi kamus. Semacam tempat pengasingan yang membatasi kebebasan hak individu. Untuk hal-hal yang bersifat umum harus diakui kebenaran kenyataan itu. Namun untuk hal yang "khusus" penjara adalah semacam suaka birahi yang bagaikan sorga dunia. Betapa tidak. At least, as for me, di sana aku seolah menemukan habitat yang selama ini selalu kuimpikan. Berada dalam lingkungan yang memang kudambakan. Hidup bersama dengan hanya kaum lelaki. Kala Gairah Birahi (KGB) aku tidak menemukan suatu kesulitan berarti mencapai suatu penuntasan. Dengan mudah aku bisa mendapatkan lawan bercumbu, andaikata saja adegan make love sejenis disamakan dengan pertandingan tinju atau kickboxing.
Kenyataan yang sangat jauh berbeda kurasakan pada saat aku memiliki kebebasan yang seutuhnya sebagai seorang manusia di dunia bebas. Tidak seperti saat itu, sedang terampas haknya dengan dalih supremasi hukum. Di alam kebebasan yang sesungguhnya, aku malah menghadapi banyak kendala bertalian dengan penyaluran hasrat birahiku yang tergolong nyeleneh ini. Menyukai perkelaminan dengan sesama jenis.
Di dalam kehidupan terpenjara, ketika para penghuni dihadapkan pada kesulitan pilihan mengatasi penyaluran kebutuhan biologis yang menggelegak, ketiadaan wanita, peluang dan kesempatan yang ada seolah menjadi anugerah terindah bagiku. Trying something different. Kalimat sakti tersebut kugunakan untuk melakukan encouragement bagi peminat pemula yang masih diliputi keraguan. Berawal dari hanya sekadar membantu memenuhi hasrat keingintahuan oknum hetero sampai kepada mereka yang memang betul-betul membutuhkan pelepasan dan penyaluran ketegangan jiwa.
Untuk melakukan hal seperti ini tidak perlu suatu hal yang bersifat kuratif. Melakukan pendekatan dan membina hubungan baik. Itu kuncinya. Apabila perasaan kedekatan sudah diciptakan maka tidur berdampingan dapat menjadi awal pembuka untuk gerilya (berupa usapan-usapan pada daerah sensistif). Jika birahi sudah terbakar, umumnya, tidak ada akan penolakan lagi pada sasaran. Hal ini lebih baik daripada melakukan tindakan pemaksaan yang grusa-grusu dan kasar. Disamping tidak seorangpun menyukai tindakan demikian juga akan menyalahi tatanan sosial yang sudah ada.
Sementara, oknum hetero mengutip kalimat tersebut sebagai pembenaran petualangan seks sejenis yang dilakukannya. Toch hanya bersifat darurat. Tidak selamanya. Tiada rotan, akarpun jadilah. Begitulah kira-kira pemikiran apologia yang dapat disimpulkan. Tetapi Anda juga harus mengerti, Tidak serta merta hanya karena pernah mencoba melakukan kisah petualangan tersebut, kemudian menobatkan mereka (oknum) sebagai kaum yang "berbeda". Seperti halnya aku ini, terlahir dari alam (by nature) menyukai dan menikmati hubungan perkelaminan sesama jenis.
Ada juga yang, sebenarnya, tidak menyukai hubungan perkelaminan sesama jenis, namun karena kegairahan birahi yang tersulut, toch, mereka dapat menikmatinya juga. Setidaknya, dengan bukti ereksi dan ejakulasi akibat persetubuhan semu dengan sesama lelaki, yang dilakukan secara orogenital, body contact maupun anal intercourse. Meskipun setelah kembali ke dunia bebas mereka biasanya back to nature. Perkecualian bagi mereka yang kemudian menjadikan "pengalaman" tersebut sebagai modal dari bagian gaya hidup baru di alam bebas sana. Menjadi sosok manusia marginal atau biseks.
Sejauh pribadi yang menjalani menyadari kenyataan tersebut maka kehidupan biseks bahkan gay sekalipun seyogyanya bukan lagi menjadi suatu permasalahan. Berbeda apabila yang bersangkutan tidak menerima kenyataan dimaksud. Apalagi bila ditambah dengan ketidakmampuan menyalurkan dorongan libido sejenis dengan keberanian menerabas citra ke"normal"an karena bercinta dengan sesama jenis. Maka lengkap sudah penderitaan hidup kaum biseks dan atau gay. Hidup dalam pendaman naluri berkelamin yang tiada pernah berkesampaian. Solusinya, tidak ada pilihan lain, kecuali mencoba mewujudkan hasrat tersebut dan berusaha enjoy dalam menjalani hidup.
Kisah yang kutulis ini, sekali lagi bukan dan tidak mencerminkan stereotipe kehidupan penjara yang sesungguhnya. Anda tidak boleh menyamaratakan "alumni" sebagai orang yang selalu atau pasti suka dan pernah atau akan terlibat dengan kehidupan seks semacam ini. Karena kenyataannya, ada juga yang sangat antipati dengan perilaku seks seperti yang kulakukan dan kuceritakan ini.
Untuk sikap penolakan seperti di atas aku mengacungkan ke empat ibu jari. Salut sekali dengan keteguhan dalam prinsip dan keyakinan. Mereka tetap tahan tidak bergeming dari kegamangan iman, godaan, dan dorongan kebutuhan penyaluran hasrat berkelamin yang menggelora, yang akhirnya cukup terpuaskan dengan tindakan masturbasi ataupun menggantinya dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar membayangkan kemesuman.
Ada semacam kesepakatan tidak tertulis (konvensi) di dalam penjara, bahwa tindakan seks sejenis yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak terkait akan memberikan peluang bagi pelanggar mendapatkan hukuman yang berat dari sistem dan lingkungan. Lain persoalannya, apabila hubungan sebadan tersebut dilakukan atas dasar keinginan bersama dan tidak dilakukan secara terang-terangan/vulgar/pamer/show off. Semata-mata aturan tersebut dijalankan untuk menghormati penghuni lain yang tidak sepaham dengan aliran seks sejenis. Demikian pula dengan institusi, yang walau tidak membenarkan tindakan ini, juga tidak dapat mencegah atau melarang terjadinya praktek-praktek terselubung semacam ini. Agaknya, salah satu dinding-dinding kamar penjara dapat menjadi saksi bisu yang reliable.
Kisah yang aku alami juga belum tentu sama dengan kisah mantan penghuni penjara yang lainnya. Seperti sudah kujelaskan di awal cerita, bahwa tidak semua mantan napi sependapat dengan hal-hal yang kulakukan ini. Ada juga yang sangat menentang. Tentu saja dengan alasan yang berbeda-beda. Ini menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Alam pemikiran demokratis mengajarkan kita untuk saling menghormati adanya perbedaan pendapat ini. Namun tidak berarti adanya perbedaan pendapat ini menghalalkan timbulnya anarkisme. Demi menjunjung tinggi nilai-nilai seperti inilah membuat konvensi tetap terpelihara.
Karena itu, sekali lagi aku juga mohon maaf kepada mereka yang menabukan perkelaminan sejenis yang kulakukan di dalam penjara. Mempunyai orientasi seks yang berbeda bukanlah suatu cita-cita dalam hidupku. Namun, aku tetap harus memberi kualitas dalam kehidupanku daripada harus terpuruk sendiri hanya karena memelihara citra "normal" yang palsu. Selain itu, aku juga tidak pernah memaksa mereka yang memang tidak berminat. Kepada kaum sesama atau para simpatisan penikmat hubungan seks sejenis, anggap saja kisah ini sebagai bahan perenungan pencarian jati diri.
Aku juga tidak menyebut soal cinta, yang kedengarannya melankonis dan klise untuk kehidupan kaum pria di dalam penjara. Dalam cinta senantiasa ada romantisme. Sementara, penjara adalah dunia terbatas yang tidak kondusif terhadap tindakan romantisme sesama penghuni. Untuk sekadar menyalurkan hasrat birahi tidak perlu didahului lagi dengan ritus yang memanterakan untaian kata "cinta".
Hanya dengan berbekal keinginan dan persetujuan bersama, adanya peluang tempat dan waktu agar tidak terlihat vulgar dan show off semua tindakan perangsangan, erotisme ataupun pergumulan seks menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. It sounds easy. Namun harus dengan kehati-hatian. Intuisi memegang peranan penting agar tidak terjebak dalam perangkap konvensi yang sebenarnya dapat dihindarkan.
Berlainan dengan erotisme, yang dapat dilakukan seorang diri. Menggunakan jemari tangan atau sekadar menggesek-gesekan kemaluan pada dinding, lantai, atau bantal sekalipun. Demi menciptakan efek perangsangan pada alat kelamin agar ereksi dan kemudian ejakulasi. Menyalurkan keinginan birahi yang bergejolak.
*****
Tempat yang digunakan untuk "memenjarakan" aku terdiri dari beberapa blok dengan banyak kamar atau ruangan. Kamar yang aku huni di tempat penampungan sementara ini berisi sepuluh orang. Kamar-kamar yang lain juga berisi jumlah yang sama. Kehadiran mereka di sini dengan latar belakang sebab yang berbeda-beda. Namun, umumnya, karena tindakan kriminal dan penyalahgunaan obat psikotropika. Begitu pula dengan status sosial/marital, edukasi, pekerjaan, religi dan etnis yang beragam.
Akan halnya dengan keberadaanku di penjara, sebetulnya, lebih banyak di dorong keinginan membuktikan cerita burung adanya "surga dunia", selain terlanjur bernasib sial (?) kedapatan membawa barang terlarang saat dilakukan razia di suatu diskotek terkenal ibukota. Hal yang tidak dapat kusangkal adalah, ditemukannya barang bukti tersebut di saku celanaku. Asalnya adalah titipan teman. Namun, karena pada dasarnya aku memang tidak ingin melibatkan orang lain, maka aku mengakui barang itu adalah milikku, yang aku gunakan sendiri.
Padahal, kenyataan yang sesungguhnya, aku sama sekali tidak menyukai penggunaan zat-zat addictive semacam itu. Sekadar membayangkannya pun tidak pernah, apalagi mecoba menggunakannya. Aku memang tidak ingin tubuh dan hidupku terkontaminasi dengan zat-zat sedative artificial semacam itu. Dengan konsep berkelamin sejenis yang kujalani ini saja aku sudah merasa tidak murni lagi sebagai manusia secara kodrati. Apalagi bila masih harus ditambah dengan penggunaan zat-zat semacam itu. Seperti apa nanti aku jadinya? No way. Konskwensi yang kuterima adalah, terampasnya kebebasan dasar yang paling nyata: bersosialisasi di dunia luar. Meskipun di lain pihak, aku mendapatkan bentuk kompensasi kebebasan yang lain. Memiliki kesempatan luas menyalurkan kecenderungan naluri hasrat birahi sejenisku yang menggelora.
Sampai hari ketiga aku berada di dalam penjara semua berjalan biasa-biasa saja. Sehingga pada saat tengah malam, ketika semua sudah terlelap dalam tidur, aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Kebelet pipis. Aku bangkit berjalan menuju WC, yang memang ada di dalam sekat kamar dengan penghalang dinding, di dalam ruangan yang sama. Kulihat di sudut sana sudah ada seseorang berdiri membelakangiku. Rupanya juga sedang buang air kecil. Pandanganku menyapu keremangan malam. Setelah dekat, dari sosok tubuhnya, aku baru mengetahui kalau orang tersebut adalah Kurnia. Aku berdehem, dengan maksud memberitahukan kehadiranku padanya. Tapi ia seolah tidak mendengar. Tidak peduli sama sekali terhadap kehadiranku. Sekadar menoleh kearahkupun tidak. Masih saja tetap dalam posisi semula. Berdiri membelakangiku.
Aku berjalan menghampiri dan berdiri tepat disampingnya. Aku melirik kearahnya.
"Elueuh.. eleuh.. kunaon eta, euy..", pekikku dalam hati.
Ternyata, Kurnia sedang ngloco/onani/merancap/masturbasi. Jantungku berdegup dan darahku terasa mendesir menyaksikan sebongkah batang kemaluan menegang dengan besarnya. Menyeruak dari genggaman jemari tangan yang bergerak maju mundur. Kepala penisnya memantulkan kilau merah keunguan dengan titik-titik precum menyembul dari ureter. Suara gemerisik gesekan tangan dengan batang penis itu serta helaan nafas yang memburu melengkapi suasana sensasional malam itu.
"Eh.., lu, Kur..?", tenggorokanku terasa tercekat ketika kuberanikan diri membuka percakapan, menyapanya.
Sementara, Kurnia, hanya sekilas menoleh dan tersenyum kecil sambil tetap membiarkan batang kemaluannya berselancar dengan riangnya di dalam gengaman jemarinya.
"Sayang, atuh, dibuang-buang gitu..", aku memberanikan diri mengomentari tindakannya itu.
"Lu mau?!?", sekonyong-konyong, dengan gaya acuh, Kurnia berbalik arah memberi isyarat padaku untuk menghisap kemaluannya yang saat itu seperti sedang meronta-ronta ingin lepas dari genggamannya.
"Yes, this what I mean!", seruku dalam hati.
Aku tersenyum menatapnya. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera merunduk jongkok. Mengambil alih batang kemaluan dari genggaman tangannya. Hilang sudah keinginanku semula untuk kencing.
Cuping lubang hidungku mengembang ketika mengendus semerbak aroma kelakian yang menggairahkan menyebar dari arah selangkangan Kurnia. Terlihat semakin jelas bongkahan penis yang mendongak dengan perkasa, menyeruak dari kerimbunan pubicnya yang ikal kelam dan lebat. Sambil menghirup dan menikmati aroma khas itu, bibir dan lidahku segera menyeruput dan menggumuli batang kemaluan yang menegang dengan tekstur guratan otot-otot disekelilingya.
"Nyummy.. nyumy.. nyummy", Aku mengelamoti glans seolah menikmati es lollypop yang lezat.
Kepalaku bergerak maju mundur menimbultengelamkan kepala penis Kurnia ke dalam kehangatan dan kegairahan birahi melalui kuluman mulutku. Bunyi berdecak dan kecipak bibir dan lidahku bersahutan dengan suara desah dan lenguhan kenikmatan Kurnia. Sesekali Aku membuang pandang ke atas. Menyaksikan ekspresi wajah kenikmatan Kurnia. Kedua belah tangan Kurnia bergerak-gerak meremas rambut di kepalanya sambil mulutnya mengerang dan mendesah.
Matanya terpejam dan ujung lidahnya menjulur-julur keluar dari mulutnya yang setengah membuka mengeluarkan desah suara, "Aach.. shhzz. ooch.. ahchh..".
Badannya menggelinjang limbung ke kiri dan kanan mengimbangi cumbuanku yang semakin menggila.
Pada saat yang sama, jemariku meluncur menyusuri batang penisnya. Menekan dengan lembut kulit kelaminnya. Bermula dari glans menuju ke arah bawah. Selanjutnya bersemayam di pangkal batangnya yang tegang itu. Dengan cara penekanan seperti itu, gurat-gurat otot di sepanjang batang penis menjadi lebih jelas terlihat. Kemudian dengan sedikit jilatan kasar lidahku menyapu dan mengelitik otot-otot itu. Maju mudur dari bawah ke atas dan sebaliknya.
Kurnia makin meracau, terbukti dari ucapan-ucapannya yang menjadi tidak jelas terdengar selain hanya deretan kata-kata, "Oouwh.. ochh.. enghzz.. fhs.. sshzz.. enyaak.. ouch.. terruuss.. oowug.. acchs.." yang meluncur deras dari bibirnya.
Aku terkejut ketika secara tiba-tiba, tangan Kurnia merenggut dan menekan kepalaku kearah selangkangannya. Tubuhnya terguncang dengan dengus nafas memburunya yang tersengal-sengal seraya memuntahkan cairan hangat gurih dimulutku. Aku hampir tersedak oleh semburan deras lahar birahinya dan sempat kesulitan bernafas karena hidungku tersumbat oleh kelebatan pubic Kurnia yang menutupi dan menggelitik lubang hidungku. Paduan sensasi rasa yang luar biasa kurasa. Aku terduduk lunglai di lantai. Kelelahan. Kedua bilah bibirku terasa tebal, dan jontor. Lidahku terasa kelu dan pegal. Butir-butir keringat mengalir membasahi tubuhku. Betul-betul olah syahwat yang melelahkan.
Belum selesai aku melakukan cooling down, mendadak Kurnia membungkuk ke arahku. Aku tidak menyangka jika kemudian ia meraih dan memelukku. Melumat bibirku. Lidahnya dengan liar menggapai-gapai langit-langit mulutku, seolah hendak menguras sisa spermanya yang masih melekat di mulutku. Hisapan mulutnya pada bibir dan lidahku melemaskan kembali organku yang semula terasa kelu dan kebal. Jemarinya gesit menjelajah lekuk tubuhku, menurunkan celana boxer yang kupakai serta menyingkirkan celana dalamku. Aku menggelinjang dan tubuhku terasa gerah terbakar cumbuan Kurnia yang menggelora.
Aku kagum juga pada Kurnia. Meski sudah ejakulasi, ternyata batang kemaluannya masih tetap ereksi. Aku melihat penisnya masih terayun-ayun tegak menantang dengan seksinya. Sambil memagut bibirku kurasakan jemari Kurnia merayap menggelitik lubang pelepasanku. Kemudian ia menyuruhku berdiri dan meletakkan satu kakiku bertumpu pada dinding bak mandi. Dalam posisi itu, celah diantara kedua bongkah pantatku membuka. Rectumku terasa mengembang lebar. Aku merasakan dinginnya malam menerpa dan menyelusup celah itu.
Aku kaget ketika kurasakan ujung lidah Kurnia yang basah dengan binalnya menggelitik tepi rectum, sementara jemarinya tanpa keraguan mengusap-usap batang kemaluan dan pubicku. Ditimpali pula dengan gesekan kumis dan sedotan bibirnya pada permukaan rectumku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sensasi kenikmatan yang ditimbulkan. Masih di ruangan kamar mandi, kami beringsut pindah ke tempat yang tidak basah. Kurnia segera merebahkan diri. Batang penisnya tegang mengarah ke atas. Sambil melumuri penisnya dengan air liur ia memintaku jongkok di atas selangkangannya. Kurasakan jemarinya yang basah dengan saliva mulai melumuri dan merangsang rectumku.
Bersambung . . . .