Kupapah Dave kembali ketempat tidur. Kami berdua tidak berkata-kata sepatah katapun. Kurasa suasananya agak menjadi renggang sesudah yang tadi, khususnya dari dirinya. Sementara aku sendiri menahan gejolak hati antara terkejut, gembira dan takut.
"Ok, ayo kita baringkan dirimu." kataku sesudah beberapa saat. Namun pada saat aku ingin menukar posisi sehingga lebih mudah membaringkannya, aku tersangkut kakinya dan serta merta aku jatuh ke atas tempat tidurnya dengan dia diatasku.
"Maaf." kataku sangat risih.
"Apakah kau tadi keberatan saat kucium?" tanyanya langsung."Sepertinya kamu juga seorang gay karena kamu bereaksi dengan ciumanku."
"A-aku.. Dave.." suaraku terdengar lirih. Kata-katanya sedikit menusuk. Dia masih mabuk, pikirku mengingatkan diriku sendiri."Kau mabuk" akhirnya kata-kata dipikiranku tercetus.
"Aku cukup sadar saat menciummu." katanya tegas. Wajahnya semakin mendekat. Aku dapat merasakan ketegangannya.
"Dave, aku.." nafasku semakin terasa sesak. Mulutku seolah terkunci oleh pesonanya.
"Aku tahu kau suka. Sejak pertama kali ketemu." dia berbisik sekarang. Nafasnya yang beraroma alkohol menghembus wajahku."Sekarang aku sudah ada di sini. Kenapa takut?"
"I-itu.. A-aku.." wajahnya semakin mendekat. Ketegangan dan kehangatannya makin terasa."Ja-jangan.."
"Jangan apa?" bisiknya menantang."Jangan lakukan atau jangan berhenti?" kurasa ia dapat merasakan gemuruh didadaku, karena aku juga dapat merasakan gemuruh didadanya.
Dave langsung menciumku begitu tidak ada jawaban dariku. Dia sangat hangat, menantang dan tegas. Aku tidak dapat menolaknya. Walaupun ini yang kuinginkan, walaupun ini yang kutunggu-tunggu, walaupun kutahu esok harinya mungkin aku akan merasakan hatiku terluka oleh karena kejadian malam ini, aku tidak kuasa menolaknya. Tidak, aku tidak ingin menolaknya. Aku menginginkannya seperti ia menginginkan diriku.
Kami berdua berciuman dengan amat panas. Kami berdua sudah terbakar bara api, bukan, kami sendirilah sumber api tersebut. Ketegangannya, kekuatannya begitu terasa. Seperti saat aku merasakan ketegangan dan kekuatanku sendiri. Lidah bertemu lidah, saling mencumbu, memuaskan dahaga satu dengan yang lain, menimbulkan dahaga yang lain yang perlu dipenuhi.
Dengan nafas yang sangat memburu kami saling bercumbu. Tidak mengenal waktu dan tempat. Aku hanya merasakan sekejap hembusan nafasnya yang hangat ditubuhku, kehangatan kulitnya, kekekaran tubuhnya untuk mengetahui bahwa kami berdua sudah telanjang. Dia menatapku dalam seolah berkata: 'Aku tidak akan menyakitimu', sebelum dia mencumbu setiap bagian dari tubuhku. Lidahnya menjelajah setiap inci tubuhku, selembut sayap kupu-kupu, menggelitik seperti angin semilir. Tenggorokanku mengeluarkan suara yang aku sendiri belum pernah mendengarnya: erangan kebinatanganku. Dave semakin dekat ketempat yang paling kuinginkan untuk disentuh dan dicintai olehnya, "Dave?" ujarku lirih.
Dia menjawab dengan gumam yang tidak jelas sebelum merasakan keteganganku. Dia mencumbunya, dia mencintainya! Nafasku semakin memburu bak seekor kuda jantan yang dipacu mendaki bukit terjal. Erangan-erangan yang tidak terkendali keluar dari mulutku. Dave membawaku dekat sekali, hampir mencapai puncak sebelum ia berhenti.
"Dave?" suaraku terdengar lirih.
Dia tertawa lembut, "Belum adakah orang yang menyentuhmu seperti aku?"
"Kau yang pertama." aku dapat merasakan wajahku memerah. Dave terkesiap."Jangan," pintaku saat dia hendak menarik diri. Aku merangkulnya mendekat, memeluknya. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku."Walaupun kau yang pertama, tapi aku percaya padamu. A-aku.."
"Ya?" terdengar harapan dalam suaranya.
"Jangan berhenti." kataku lirih."Aku ingin kita bercinta."
Kemudian kami kembali berciuman. Semakin panas, terbakar dalam kobaran api asmara. Dia kembali ingin mencumbuku, namun aku menghentikannya. Kedua tanganku mencari dengan gemetar, ingin menemukan kejantanannya. Lalu, sangat hangat, kuat dan tegang. Dave mengerang saat kedua tanganku menemukan dirinya. Dave melepaskan erangannya dileherku sambil menciumi leherku saat kedua tanganku bermain dengan mainan baru yang kutemukan. Namun semakin aku bermain, semakin besar hasratku untuk merasakannya sendiri.
Aku ingin mencumbu dan mencintai kejantanannya seperti yang telah ia lakukan padaku. Tubuhnya menegang saat aku melakukannya. Dave mengerang tidak terkendali. Aku dapat merasakan ketegangannya bertambah semakin hangat saat dia mendaki puncak kenikmatan. Dave menarik diri tepat sesaat sebelum ia lepas kendali. Aku dapat melihat kobaran api dimatanya sesaat sebelum ia berganti posisi. Aku terkesiap. Ia ingin kami berdua saling mencumbu kejantanan kami masing-masing. Namun aku tidak perduli. Yang kuinginkan adalah mencumbu dirinya. Kami saling menikmati, saling merasakan ketegangan dan kekuatan diri pasangan masing-masing. Kami terhanyut ke dalam kenikmatan indah sebelum akhirnya Dave memutuskan untuk mulai bercinta.
"Tahan aku jika aku menyakitimu." bisiknya dalam nafas memburu.
"Ya." aku mengangguk gugup saat merasakan kejantanannya yang keras hendak bersatu dengan tubuhku. Dave mencoba dengan lembut dan perlahan. Nafasnya semakin memburu. Dadaku semakin berdebar kencang. Dave tertawa gugup saat gagal untuk yang pertama kali, sebelum akhirnya sebagian kejantanannya masuk ke dalam tubuhku.
Ia berhenti bergerak, "Sakit?" Aku menggeleng sambil tersenyum. Walaupun terasa sedikit nyeri, namun rasa nikmat yang kurasakan dapat mengatasinya. Dave terus bergerak masuk semakin dalam sebelum akhirnya tubuh kami benar-benar menyatu. Ia melenguh, aku mendesah. Ia berdiam saat berada di dalam tubuhku sejenak, lalu menciumku, lalu kami mulai bercinta. Dave mencintaiku dengan sangat lembut dan perlahan, sebelum akhirnya ia melepaskan kendalinya. Ia bagai seekor kuda jantan liar yang mengawini pasangannya.
Liar, tidak terkendali, sangat kuat dan perkasa. Kenikmatan yang kami rasakan semakin memuncak. Aku merasakan gejolak kuat di perut bawahku yang hendak menerobos keluar. Suatu tenaga yang lama terpendam. Namun ternyata Dave yang mencapai puncak kenikmatan terlebih dahulu. Dave menindihku dengan keras, memelukku erat-erat, membisikkan namaku berulang-ulang diantara erangannya, dan seluruh tubuhnya mengejang. Dan aku terbawa oleh gelombang puncak kenikmatannya sehingga aku melepaskan tenaga terpendam yang kurasakan di perut bawahku.
Kami saling merasakan puncak kenikmatan kami, saling mengerang, memanggil nama masing-masing dengan tubuh yang mengejang, berkeringat dan merasakan kehangatan nyata puncak kenikmatan kami. Beberapa saat sesudahnya, saat puncak kenikmatan kami mereda, Dave memelukku kian erat. Aku membalasnya. Kami tetap begitu selama beberapa saat hingga Dave berguling ke sampingku dan kembali memelukku lagi.
"Apakah aku menyakitimu?" gumamnya.
Aku menyembunyikan wajahku di dadanya yang hangat dan basah oleh keringat. Aromanya begitu mempesona."Tidak." Kemudian aku memainkan puting susunya."Kau membuatku melayang."
Dave tertawa, "Benarkah?"
"Aku mencintaimu." ujarku parau.
Kami terdiam agak lama sesudah aku mengucapkan hal itu. Aku sendiri terkejut aku dapat mengucapkan hal itu kepadanya secara langsung seperti ini. Mungkin Dave akan berpikir bahwa hal ini terlalu cepat, atau, ini adalah ungkapan yang biasa didengar setelah bercinta-mungkin di Barat seperti itu. Satu tanganku membelai punggungnya yang kekar, dan satu lagi masih betah bermain-main dengan puting susunya. Sementara itu Dave sendiri membelai rambutku. Tanganku yang memainkan puting susunya bergerak semakin kebawah dan kebawah lagi, ingin menemukan kembali mainannya.
"Siap membawaku kembali melayang?" godaku parau.
"Whoo, whoo!" serunya. Aku merasakan kejantanannya bangkit dengan cepat."Iye-iye, Kapten!" dan kami kembali lagi menikmati percintaan kami.
Esok paginya aku terbangun disebelahnya, terbangun dalam pelukannya, dalam perlindungan tangannya yang kekar. Sekujur tubuhku lemas. Kami, saking menikmatinya, hingga lupa waktu. Kami berdua kembali bercinta setelah selesai seolah ada bara api yang tersisa yang kembali terbakar. Mungkin kami berdua tertidur kelelahan menjelang pagi. Aku tersenyum mengingat percintaan kami semalam.
Kupandangi wajah yang terlihat amat santai saat tidur itu. Bulu-bulu halus di dagunya tumbuh semakin panjang. Bulu-bulu yang menggelitikku semalam. Aku membelainya, wajahnya, dadanya yang kekar, bahunya yang bidang, tangannya yang kuat, perutnya yang rata, kembali kedadanya dan mengistirahatkan tanganku di sana. Seandainya saja ia menjadi kekasihku. Seandainya saja ia bisa berada disisiku selamanya. Seandainya saja..
Hatiku serasa tersayat disaat mengingat kenyataan bahwa cepat atau lambat kami akan berpisah. Pilu rasanya saat aku mengingat dimana pada waktu aku akan mengingatnya hanya sebagai kenangan. Dan hal yang paling menyakitkanku adalah bahwa aku mencintainya. Aku mencintainya bahkan sebelum aku menyadarinya.
Bersambung . . . . .