Sering aku bertanya pada diriku sendiri.
Apakah terlalu cepat aku mencintai?
Dan apakah terlalu banyak memberikan hatiku?
Sehingga kurasakan sakit yang begini saat semuanya pergi.
Tapi dapatkah kulakukan?
Membunuh perasaan kasih dan memendam rasa cinta yang timbul di hati.
Dapatkah seseorang menipu hatinya?
Karena hati itu bebas. Tidak ada yang dapat menguasainya.
Telah aku turutkan kata hati. Dan apabila kini hati telah dilukai, tak ada alasan untuk menyesali.
*****
Ada cerita sedih saat membuka sampulnya
Diary ini kutulis dengan perasaan
Waktu mengenangmu, dulu
Wajah dalam diary itu tak dapat kuungkapkan lagi
Karena dia ada begitu saja di hati
Waktu terus bergulir didepanku yang membisu
Dan kini kaupun begitu jauh
Ingin aku bicara, dibawah maple yang gersang
Jalanan lengang kupandang dengan airmata
Kehidupan saat ini, janganlah kau lupakan
Karena kau adalah masa remajaku
*****
"Kak, kenapa lama sekali tidak tilpon kesini?" Ucap Yong Nam ketika aku menilponnya setelah hampir 2 bulan aku tidak pernah memberi kabar. Dan malam minggu ini dalam perjalanan ke tempat Jin Yong, entah kenapa aku ingin kembali menilpon.
"Kak Yong Jun sudah tidak bekerja disini lagi." Lanjut Yong Nam lagi.
Aku terdiam tanpa dapat berkata-kata lagi. Ada rasa kehilangan yang menyeruak dalam dadaku. Yong Jun adalah salah seorang sahabatku yang terbaik di negara ini. Perhatian dan kebaikannya begitu membekas di pikiranku. Pernah dia membalut kakiku yang terkilir dengan handuknya sendiri yang di basahi air panas. Saat aku mau pergi dari pabrik dulu, aku tahu dia juga merasa kehilangan.
"Sejak kapan dia berhenti kerja?" Tanyaku dengan penuh penyesalan. Selama ini aku jarang menilpon dan tidak ada kesempatan buatku mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih buat kebaikan yang telah dia berikan kepadaku.
"Sudah 2 minggu. Kak Chang Ho besok juga berhenti. Kontraknya sudah habis."
Jawaban Yong Nam membuatku tersentak. Serta merta aku sudahi pembicaraanku dengan Yong Nam dan segera aku menghubungi Chang Ho di apartement Dong Bu. Ternyata dia sendiri yang menerima tilponku. Saat mendengar suaranya, mataku kurasakan mulai panas. Dia membenarkan bahwa esok dia sudah tidak bekerja lagi dan melanjutkan kuliahnya.
"Kita tidak dapat bertemu lagi." Ucapku parau menahan sedih di dada.
"Benar." Bisiknya pelan.
"Aku sungguh kangen dengan kamu." Ucapnya lagi yang semakin membuatku pilu.
Sejenak kami terdiam tanpa sanggup berkata apa-apa. Teringat kembali saat-saat kami masih bersama. Dia dengan tekun mengajar aku bahasa korea dengan perantaraan bahasa inggrisnya yang tidak seberapa. Meski teman-teman yang lain menyebutnya bandel dan kurang ajar, tapi aku cocok berteman dengannya. Chang Ho selalu menolak bekerjasama dengan orang lain. Patner yang seimbang buat dia cuma aku dan Yong Jun. Setiap kali kami bekerja di satu mesin, dia selalu mengajakku menyanyikan lagu Shoulder To Cry On-nya Tommy Page. Saat kami pertama kali bertemu sesudah aku lari dari pabrik, dia membentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambutku dan memelukku kuat-kuat. Dan kenangan yang manis itu tidak dapat lagi kami ulangi.
"Workman." Sebutnya memecahkan lamunanku. Dari dulu dia memang suka menyebutku begitu karena kerajinanku dalam bekerja.
"Goodbye, Chang Ho. Terima kasih karena dari awal sampai sekarang kamu adalah temanku yang terbaik." Suaraku terdengar bergetar.
"Kalau ada waktu kita bertemu lagi, kita minum bersama lagi, ya?" Pintanya dengan pelan.
"Benar. Pasti aku akan temani kamu minum lagi." Jawabku cepat sambil kutahan airmataku.
"Goodbye, workman." Bisiknya haru.
"Goobye, friend. Jangan lupakan aku." Jawabku sendu, menutup pembicaraan terakhir kami.
Beberapa saat aku masih tertegun di dalam phonebox. Perasaan tak karuan memenuhi dadaku. Kini semua kenangan telah hilang. Kehilanganku akan Lee telah membentangkan kepedihan yang panjang di depanku. Dan tinggal teman-teman akrabku yang setidaknya mampu menghidupkan kembali rangkaian kenangan di Kimpo yang telah putus terlerai.
Tetapi kini jalinan kenangan itu tak dapat lagi aku untaikan. Bahkan semakin berkecai dengan kepergian teman-temanku menuju tempat yang semakin jauh dan asing bagiku. Dalam kegalauan hati aku pergi ke taman di depan supermarket JD. Dadaku terasa sesak dengan perasaan sedih yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Senja jingga telah berubah semakin gelap saat aku duduk di bawah pohon maple yang telah kering itu.
Kembali disana aku biarkan anganku melayang jauh menembus jarak dan waktu yang telah terlewati. Tempat ini banyak menyimpan kenangan yang tidak akan pernah habis kumainkan ulang dalam ingatanku. Begitu manis saat terbayang, namun begitu pedih bila dikenang. Maple ini saja yang tetap berdiri di tempatnya dan entah sampai kapan ia akan tetap menjadi saksi bisu segala yang pernah aku alami di bawah rindangnya.
Sekarang yang dapat kulakukan hanyalah bermain mimpi yang tak dapat aku gapai kembali. Semua percintaan dan persahabatan yang kudapatkan di negara ini tinggal menjadi kenangan saja. Kucoba menghapuskan kegalauanku dengan soju yang baru aku beli dari supermarket. Ingin aku lupakan semua kepedihan yang mencekam hatiku saat ini. Namun kenapa soju itu malah membuat air mataku tak dapat aku tahan lagi.
Dalam dingin mencekam aku dihangati airmata yang menetes dari sudut mataku. Entah berapa lama aku larut dalam kesedihanku saat Jin Yong tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia sudah tahu tentang kebiasaanku melamun di taman ini. Namun aku tidak pernah bercerita kepadanya tentang Lee. Meski dia sering bertanya kenapa aku sering melamun di tempat ini dan selalu kelihatan bersedih. Tak sempat lagi aku menyembunyikan keadaanku yang sedang menangis. Selama ini aku tidak pernah memperlihatkan airmataku kepada orang lain. Dia memandangku dengan tatapan heran dan kuatir.
"Hui. Ada apa dengan kamu?" Dia segera duduk di sampingku yang sedang berusaha mengeringkan sisa-sisa airmata. Aku menggeleng saja tanpa menjawab.
"Kamu menangis, ya?" Jin Yong mengulurkan tangannya memelukku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Seperti seorang kakak terhadap adiknya, dia mengusap-usap lenganku. Perlakuannya yang penuh perhatian membuat aku kembali meneteskan airmata. Sambil membujuk, segera dia mengajakku untuk ke rumahnya.
Sesampainya di apartement aku sudah dapat menguasai emosiku dan tenang. Aku tetap tidak menceritakan persoalanku meski Jin Yong terus bertanya. Tiba-tiba dia masuk kedapur dan membiarkan aku termenung sendiri di sofa. Tak lama dia kembali sambil membawa satu kotak ice cream dan memakannya sendiri sambil duduk di lantai menonton TV. Selama ini kami selalu makan ice cream bareng-bareng. Satu kotak kami makan berdua. Pernah kawanku saat melihat kami makan ice cream dia mengatakan bahwa kami seperti orang berpacaran. Tetapi aku katakan kalau aku menganggap Jin Yong seperti kakakku.
Dicuekin seperti itu membuat kesedihanku menjadi kejengkelan. Aku datangi dia dan kurebut ice cream dari tangannya. Dia tenang-tenang saja dan meneruskan menonton TV. Dengan jengkel aku masuk ke kamar dan mencoba untuk cepat tidur. Tapi perasaanku yang kacau membuatku sulit memejamkan mata. Entah kenapa aku merasa jadi orang yang paling kesepian di dunia. Ketika Jin Yong masuk kekamar aku masih melamun sambil menatap langit-langit kamar.
"Hui." Panggilnya. Dia pun naik keranjang dan berbaring di sampingku.
Lenganku di pijat-pijatnya. Aku masih asyik bermain dengan perasaanku. Aku tetap tak bergeming ketika dia melingkarkan tangannya memelukku.
"Kamu masih sedih?" Dia bertanya kembali. Aku aku menghela nafas tanpa menjawab. Dan Jin Yong tidak lagi bertanya.
Tangannya kini mulai bermain-main di rambutku dan mengusap kepalaku. Kupejamkan mata untuk menikmati belaiannya. Perasaanku terasa tenang. Dalam dekapannya aku merasa damai dan terlindungi. Sesaat aku dapat lupakan kesedihanku.
"Kamu kelihatan lucu kalau menangis." Bisiknya di telingaku.
Ku tatap dia sejenak dengan sebal dan kubalikan tubuhku membelakanginya. Aku dengar dia tertawa kecil. Lalu di dekapnya aku dengan tiba-tiba sampai aku sedikit terperanjat. Dan kemudian dia menciumiku dengan liar. Aku diamkan saja Jin Yong dengan perbuatannya hingga kurasakan penisnya yang sudah keras menekan punggungku. Aku meronta malas dan enggan. Saat ini aku cuma ingin tidur dalam pelukannya saja.
"Aku sudah mengantuk, nih. Besok aja." Bujukku padanya. Tapi Jin Yong tidak menggubris ucapanku. Dia malah menjilati kudukku hingga aku merinding.
Digumuli dan di cumbui terus membuat gairahku mulai muncul. Kehangatan pelukan dan nikmat ciumannya menjalari seluruh tubuhku. Aku berbalik badan dan saat kami saling berhadapan aku dekap lehernya dan kamipun berciuman. Dengan perlahan namun mantap aku lumat bibir merah Jin Yong. Aku kulum bibirnya sambil ku remas-remas rambutnya. Dia tidak mau kalah. Ia menggunakan lidahnya untuk mengait lidahku. Ciumanku juga menjalar sampai keseluruh wajahnya. Dengan penuh nafsu aku tindih tubuhnya supaya leluasa aku mencumbunya. Penis kami saling bergesekan. Kurasakan kehangatan tubuhnya makin membuat batangku berdenyut. Sejenak aku lepaskan kaus dan celana training yang kupakai dan Jin Yong pun melakukan hal yang sama hingga akhirnya kami bertelanjang bulat.
"Masih mau menunggu sampai besok?" Godanya padaku sambil tersenyum menyeringai. Kujawab dengan hisapan kuat di lehernya.
Tangan Jin Yong menekan kedua pantatku dan mengoyangnya sehingga penis kami saling beradu. Gesekan antara penis dengan bulu kemaluan menimbulkan rasa tersendiri buatku. Penisnya yang besar dan tegang berat, mendesak kuat perutku. Aku dekap erat tubuhnya untuk merasakan kehangatan yang semakin menyalakan gairah. Bagai orang berlomba kami saling berpagutan. Saat sedang asyik melumat, aku menarik bibirku lalu menjilati bibirnya. Jin Yong berusaha untuk mengulum bibirku tapi aku selalu menghindar. Aku terus menjilat bibirnya dan menghindar kalau dia hendak mengulum. Sampai akhirnya dia menjadi jengkel. Aku tertawa kecil. Ini balasanku karena tadi dia meledek aku karena menangis. Namun aku tidak dapat menghindar lagi saat kepalaku dipegangnya dan ketika mendapatkan bibirku kembali, dia melumat bibirku habis-habisan.
Bersambung . . . .