Seusai makan malam, kami berjalan kembali ke kamar hotel kami. Bang Veri dengan lembut melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku merasa sangat aman bersamanya. Saat pintu kamar terbuka, Bang Veri tiba-tiba mengangkatku serta menggendongku seperti pengantin pria menggendong mempelainya. Aku setengah memekik kaget sambil berpegangan sekuatnya. Bang Veri hanya tertawa saja. Badannya memang kuat meskipun ekspresi kelelahan sedikit tersirat di wajahnya. Setelah membawaku masuk, Bang Veri menutup pintu dengan kakinya. Selanjutnya, tubuhku dibaringkan dengan hati-hati di atas ranjang hotel yang nyaman, empuk, dan juga lebar. Matanya menatap wajahku terus, tak berkedip. Kudengar Bang Veri bergumam..
"Akhirnya, Adek milik Abang."
Perlahan, kami kembali berciuman. Oh, bibirnya terasa begitu lembut di bibirku. Kugerakkan bibirku untuk mencium dan menyedot bibirnya. Kami terus-menerus saling beradu bibir, ditambah dengan pelukan dan rabaan. Selagi bibir kami bekerja, tangan kami sibuk saling melucuti pakaian. Bang Veri bergerak cepat dan membuang seluruh pakaianku dalam sekejap. Tak kalah cepat, aku juga berhasil menelanjangi tubuh Bang Veri bulat-bulat.
Kami kini berada di ranjang, saling bertatapan, aku masih berbaring sementara Bang Veri duduk di sampingku. Kalung batu giok yang dulu kuhadiahkan padanya sebagai hadiah ulang tahunnya masih setia bergantung di lehernya. Tali kalung itu, terbuat dari benang tebal berwarna merah, sudah mulai tampak kusam, namun Bang Veri masih setia memakai dan menjaganya. Dan di jari manisku kini melingkar cincin pemberian Bang Veri saat dia melamarku. Kutatap cincin itu dengan perasaan haru bercampur bahagia. Dalam semalam, aku sudah berganti status. Kini aku resmi telah 'menikah' dengan pria yang paling kucintai seumur hidupku.
"Adek sayang, akhirnya kita sudah menikah sekarang. Apakah Adek merasa senang? Maksud Abang, Adek tak merasa menyesal telah mengikat diri Adek pada Abang, kan?" tanya Bang Veri.
Suaranya terdengar kalem namun juga sekaligus tegas. Aku bangun dan duduk di depannya, kakiku bersila di atas ranjang. Kutatap wajahnya dalam-dalam sebelum akhirnya kukatakan..
"Abang, Adek sungguh-sungguh mencintai Abang. Adek sangat bahagia karena sekarang Adek sudah menjadi pasangan hidup Abang. Selamanya, Adek takkan pernah menyesal. Hanya Abang seorang yang Adek mau, dan yang Adek cintai."
Kusentuh wajahnya yang tampan itu dengan kedua telapak tanganku. Sejenak, kuraba-raba wajahnya, merasakan tekstur kulitnya.
"Jangan pernah ragukan cinta Adek. Memang dulu Adek pernah mencintai beberapa orang pria. Tapi mereka semua adalah masa lalu. Dibandingkan dengan mereka, Abang adalah pria yang paling aku cintai. Walaupun nanti Abang berubah tua, gemuk, dan jelek, Adek tetap akan mencintai Abang. Bukan fisik Abang yang Adek cintai, melainkan hati dan kepribadian Abang."
Kupeluk tubuhnya untuk menekankan kata-kataku. Kepalaku bersandar pada bahunya, tercium aroma colognenya yang harum nan memabukkan. Bang Veri balas memelukku. Punggungku diraba-raba dengan penuh cinta.
"Abang tahu Adek cinta Abang. Tapi apa Adek pernah menyesali hidup Adek sebagai seorang gay?" Kugeleng-gelengkan kepalaku dalam pelukannya seraya berkata..
"Tidak, Bang. Adek tak pernah menyesalinya. Adek senang menjadi diri Adek apa adanya. Semua telah digariskan oleh Tuhan. Dan Adek telah ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup Abang selamanya. Adek cinta Ab.."
Kalimatku terpotong karena tiba-tiba saja Bang Veri mencumbuiku dengan liar dan penuh cinta. Tubuhku terdorong ke belakang sehingga terjatuh ke atas ranjang. Bang Veri menimpaku dari atas sambil sibuk mencium dan mencumbuku. Batang kejantanannya mengeras dan memanjang, menusuk-nusuk selangkanganku.
Di sela-sela aktivitas itu, Bang Veri sempat membisikkan bahwa dia sangat mencintaiku. Bahagia sekali mendengar kata-kata itu terucap dari mulutnya. Aku jadi teringat akan bulan-bulan pertama ketika kami baru mulai berpacaran. Saat itu Bang Veri masih terlalu sibuk memikirkan pekerjaan dan sanak keluarganya sehingga aku sering merasa kesepian. Dibandingkan dengan Bang Veri yang dulu itu, Bang Veri yang sekarang sudah berubah banyak sekali. Dan aku makin mencintainya.
Kemaluanku bangun, terstimulasi oleh perlakuan Bang Veri. Oh, inilah malam pertamaku bercinta dengannya setelah 'pernikahanku'. Meskipun Bang Veri jelas terlihat sangat bernafsu denganku, namun sikap romantisnya masih terasa. Oh, aku menyerah saat Bang Veri menggerayangi tubuhku. Kuberikan padanya segala yang kumiliki, tubuh, hati, cinta, dan hidupku.
Mataku terpejam erat saat batang kemaluannya menempel di bibir anusku. Kedua kakiku diangkat lebar-lebar dan disanggakan pada kedua bahunya yang lebar. Sebuah bantal diselipkan di bawah pinggulku agar pantatku lebih terangkat dan anusku lebih terekspos. Dengan lembut, Bang Veri berbisik di telingaku..
"Sekarang Abang sedang nafsu banget ama Adek. Layani Abang, yach. Biarkan Abang masuk ke dalam tubuhmu.. Oohh.." Aku hanya mengangguk saja sambil berusaha merilekskan otot duburku. Tanpa pelumas maupun kondom, batang penis Bang Veri membor anusku.
"Hhoohh.. Sempit, Dek.. Aahh.. Enak.. Hhoosshh.." Desahan nafasnya menjadi kencang sementara sekujur tubuhnya bergetar menahan nikmat.
"Aahh.. Oohh.. Uugghh.."
Rasa sakit mulai menyerang anusku. Disodomi secara 'mentah' seperti itu jauh lebih sakit dibandingkan disodomi dengan peralatan lengkap (dengan kondom dan pelumas). Namun aku rela menahan rasa sakit itu asalkan Bang Veri mendapatkan kenikmatan. Itu sudah tugas dan kewajibanku sebagai kekasih dan pasangan hidupnya. Kepala penis Bang Veri memaksa duburku untuk menerimanya. Pergesekan penisnya dengan anusku juga menyebabkan tercabutnya bulu-bulu yang tumbuh di sekitar anusku. Rasa panas dan perih menyerang anusku terus-menerus.
"Aahh.. Oohh.. Aahh.." rintihku, mataku agak basah dengan air mata. Sebisanya kutahan diriku untuk tidak mengutarakan padanya bahwa aku sedang merasa kesakitan namun Bang Veri mengetahuinya.
"Sakit yach?" tanyanya cemas. Sengaja, dia berhenti meneruskan usaha penetrasinya. Dengan lembut, Bang Veri mendaratkan beberapa ciuman mesra di bibir dan pipiku.
"Maaf yach, Abang nggak sengaja." Namun kugelengkan kepalaku.
"Tidak, Bang. Jangan berhenti. Teruskan. Adek tahan, kok. Lagipula rasa sakit itu malah membuat Adek semakin terangsang. Ayolah, Bang. Sodomi Adek lagi. Bercintalah dengan Adek. Biarkan Adek memuaskan birahi Abang. Lampiaskan nafsu Abang pada diri Adek. Ayolah, Bang," desakku.
"Oh, sayang.. Abang masuk lagi, yach?" Dan dengan itu, Bang Veri kembali mendorong batang kemaluannya. Erangan kesakitanku mulai terdengar, bercampur dengan desahan nafas Bang Veri.
"Hhoohh.. Sempit sekali, dek.. Aahh.. Buka lobang Adek.. Aahh.. Biarkan Abang masuk.. Aahh.. Abang mau ngerasain.. Oohh.. Kehangatan lubang Adek.. Aahh.. Abang sayang Adek.. Aahh.." Kepala baja penis itu terus memaksa masuk. Dan kurasakan bibir anusku terbuka lebar, semakin lebar, dan makin lebar lagi sehingga akhirnya.. Plop!
"Hhoohh.. Abang masuk.."
Kepala penis yang seksi itu akhirnya sudah bersarang di dalam liang cintaku. Pelan tapi pasti, Bang Veri kembali mendorong batangnya masuk agar dia bisa merasakan kehangatan menyelubungi seluruh batangnya. Aku hanya bisa mengerang-ngerang, kesakitan bercampur kenikmatan.
"Hhoohh.. Hhoosshh.. Aahh.. Fuck me, Bang.. Aahh.. Adek siap melayani Abang.. Aahh.. Adek mau muasin Abang.. Pakai lubangku, Bang.. Hhoohh.. Ayo, berikan batangmu.. Hhoohh.. Fuck me.."
Aku sengaja melontarkan kalimat-kalimat kotor agar Bang Veri semakin bernafsu padaku. Sepertinya berhasil sebab batang penisnya terasa semakin mengeras dan berdenyut di dalam tubuhku. Oh, nikmatnya bersetubuh dengan kekasihku. Tubuhku dan tubuhnya bersatu untuk selamanya.
"Hhoohh.." Aku melenguh panjang ketika batang kejantanan Bang Veri merambat semakin dalam hingga akhirnya mengenai prostatku.
"Aahh.." erangku saat gelombang kenikmatan tiba-tiba menyerang tubuhku. Rasanya seperti sedang orgasme. Nikmat sekali.. Bang Veri berhenti sejenak hanya untuk menatap wajahku. Tangannya dengan lembut membelai-belai pipiku sembari berkata..
"Adek memang cakep. Abang makin cinta aja ama Adek."
Sebuah ciuman mesra mendarat di bibirku. Namun, seperti biasanya, sebuah ciuman yang lembut dan mesra dengan cepat berubah menjadi ciuman yang ganas dan menggelora. Bang Veri memagut-magut bibirku seakan ingin menelanku bulat-bulat. Gejolak nafsunya tak tertahankan lagi. Penisnya mulai digerak-gerakkan, keluar-masuk. Pergesekan antara penis dan duburku menimbulkan rasa perih yang tak tertahankan, namun Bang Veri tak memberiku kesempatan untuk mengerang. Bibirku dicaplok dan dipaksa untuk menerima lidahnya. Kami berciuman ala french kiss, saling menghisap lidah dan bibir. Percumbuan kami sungguh sangat panas dan bergairah.
Terbaring tak berdaya di ranjang dengan kedua kaki mengangkang di atas bahu Bang Veri, aku diciumi oleh Bang Veri. Sementara itu, Bang Veri sibuk menggenjot pantatku dengan keras dan bertenaga, seolah-olah tak ada hari esok. Keringat mulai membasahi badan kami meskipun suhu ruangan sangat dingin.
Akibat genjotan penis Bang Veri yang sangat kuat, ranjang kami mulai berderak-derak. Bang Veri tak ragu-ragu menyuarakan erangan nikmatnya keras-keras. Saya yakin, suara yang kami keluarkan saat sedang bercinta pasti terdengar sampai keluar kamar, namun kami tak peduli. Lagipula, hotel itu memang didirikan untuk menampung tamu-tamu gay. Sayup-sayup terdengar suara pasangan lain sedang bercinta. Kurasa, pasangan pria homoseksual yang tinggal di sebelah kamar kami pasti tergoda mendengar erangan kami sehingga mereka pun memutuskan untuk bercinta saja.
"Hhoohh.. Bang, genjot terus.. Aahh.. Fuck me.. Oohh.. Batang Abang enak banget.. Aahh.. Yyeeaahh.. Lebih keras lagi.. Aahh.. Fuck me.. Hhoohh.." Aku mengerang-ngerang seperti gigolo homo yang haus akan kontol.
Bang Veri memang sungguh tahu semua 'tombol' di tubuhku sehingga aku bisa blingsatan dan bernafsu seperti itu. Fakta bahwa Bang Veri adalah kekasihku membuat kenikmatanku semakin bertambah. Tak ada yang lebih nikmat daripada bercinta dengan seorang kekasih. Sebelum bertemu Bang Veri, aku pernah bercinta secara 'one-night-stand' dengan beberapa pria. Meskipun mereka memang hebat dalam hal entot-mengentot, tapi aku merasa ada yang kurang karena aku tidak mencintai mereka dan mereka tidak mencintaiku. Tapi dengan Bang Veri, semua berbeda karena kami saling mencintai. Kami ingin saling memuaskan.
Bersambung . . . . .